Jam kerja fleksibel seperti yang berlaku saat pandemi menjadi satu alternatif yang dianggap efektif agar kepadatan lalu-lintas kota bisa dikurangi meski pandemi sudah berakhir/ Net
Jam kerja fleksibel seperti yang berlaku saat pandemi menjadi satu alternatif yang dianggap efektif agar kepadatan lalu-lintas kota bisa dikurangi meski pandemi sudah berakhir/ Net
KOMENTAR

DINAS Perhubungan DKI Jakarta mengunggah hasil survei TomTom Traffic Index (rilis pada 13 Januari 2021) yang menunjukkan Jakarta berada di peringkat ke-31 Kota Termacet di Dunia Tahun 2020.

Di tahun 2019, Jakarta menempati peringkat ke-10. Artinya, kondisi lalu-lintas Jakarta jauh membaik pada tahun 2020. Dishub DKI Jakarta menunjukan data bahwa dalam tiga tahun terakhir peringkat Jakarta semakin turun yang artinya kemacetan makin berkurang.

Survei TomTom tersebut dilaksanakan di 416 kota di 57 negara di seluruh dunia. Satu faktor utama yang memengaruhi hasil survei adalah pandemi Covid-19. Dengan penerapan PSBB dan pemberlakukan protokol kesehatan, berkurangnya aktivitas luar rumah warga Jakarta memang mengurangi kemacetan ibu kota secara signifikan.

“Kami pernah mengumumkan bahwa tingkat kemacetan global terus-menerus meningkat sampai tahun 2019. Namun pada tahun 2020, kami melihat kondisi yang sangat berbeda. Lockdown dan penutupan perbatasan telah mengubah drastis pergerakan masyarakat,” ungkap Vice President TomTom Ralf-Peter Schafer.

Meski demikian, para ahli di TomTom tidak mengharapkan kondisi jalan lengang hanya karena pandemi. Yang diperlukan adalah kebiasaan mengemudi yang baik, peraturan lalu-lintas yang ditegakkan dengan baik, dan kebijakan para pengusaha.

Pandemi telah menciptakan satu kesempatan yang dapat diterapkan selamanya. Pertanyaannya kemudian adalah apakah kita bisa menerima mobilitas yang bergantian seperti saat ini, demi menciptakan masa depan yang lebih bersih dan bebas macet?

Misalnya dengan memberlakukan jam kerja yang fleksibel untuk menghindari rush hour pada waktu pergi dan pulang kantor, menerapkan work from home secara bergantian, dan aktif memantau data lalu-lintas untuk tahu waktu yang tepat untuk bepergian.

Meskipun kemacetan lalu-lintas sangat menurun pada tahun 2020, itu tidak akan menjadi tren selama kita tidak bergerak. Kita akan melihat arus lalu-lintas kembali padat seiring masyarakat kembali bekerja dan kembali pada kebiasaan lama mereka.

“Inilah saatnya untuk para pembuat kebijakan, pengusaha, perancang tata kota, juga para pengendara harus memutuskan apa yang harus dilakukan agar jalanan tidak lagi macet di masa depan,” ujar Schafer.

Pandemi memang telah memberi efek luar biasa dalam menurunkan tingkat kemacetan rata-rata 21 persen pada 387 kota yang disurvei. Bahkan pada jam sibuk, tingkat kemacetan berkurang hingga 28 persen. Sementara pada tahun-tahun sebelumnya, biasa terjadi peningkatan kemacetan sebanyak 2 – 3 persen setiap tahun.

Data lalu-lintas TomTom dihasilkan dari 600 juta peralatan terkoneksi yang menjadi indikator pergerakan masyarakat, tingkat aktivitas ekonomi, perdagangan global, dan banyak hal lainnya.

Selama pandemi Covid-19, insight yang didapat dari data tersebut digunakan para analis, perusahaan, dan media untuk menjelaskan berbagai perubahan yang terus terjadi di dunia. Terkait kemacetan, data TomTom memiliki data bagaimana pandemi global mengubah pergerakan manusia melalui interaksi virtual.

Berikut ini 10 kota termacet di dunia dengan tingkat kemacetannya:
1.    Moskow, Rusia (54%)
2.    Mumbai, India (53%)
3.    Bogota, Kolombia (53%)
4.    Manila, Filipina (53%)
5.    Istanbul, Turki (51%)
6.    Bengaluru, India (51%)
7.    Kyiv, Ukraina (51%)
8.    New Delhi, India (47%)
9.    Novosibirsk, Rusia (45%)
10.    Bangkok, Thailand (44%)

Seperti diketahui, salah satu langkah pemerintah DKI Jakarta mengurangi kemacetan adalah mengintegrasikan transportasi sebagai bagian dari tata kota berkesinambungan. Dengan integrasi, Gubernur Anies Baswedan mengharapkan semakin banyak jumlah masyarakat yang naik kendaraan umum.

Meski demikian, moda transportasi yang bertambah sejak ada MRT, dilanjutkan dengan LRT, juga armada Transjakarta dan commuter line yang makin tinggi frekuensi penggunaannya, ternyata belum cukup ampuh mengatasi masalah kemacetan.

Ditambah lagi dengan pembangunan flyover dan underpass di banyak titik di Jakarta untuk menambah kapasitas jalan. Masih perlu pembuktian apakah dapat membuat perjalanan masyarakat lebih lancar. Sejauh ini, ujung flyover dan underpass justru menjadi ‘kantong’ kendaraan yang saling berebut untuk maju duluan.

Kembali lagi, banyaknya kendaraan di Jakarta dan banyaknya orang yang memenuhi Jakarta pada jam kerja memang menciptakan suasana kepadatan lalu-lintas yang sulit dihindari. Jam kerja fleksibel seperti yang berlaku saat pandemi menjadi satu alternatif yang dianggap efektif agar kepadatan lalu-lintas kota bisa dikurangi meski pandemi sudah berakhir.

 

 




Rakerkesnas 2024, Presiden: Indonesia Harus Bisa Manfaatkan Bonus Demografi

Sebelumnya

Tak Lagi Berstatus Ibu Kota, Jakarta Siap Melesat Jadi Pusat Perdagangan Dunia

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel News