Kecerdasan otak dan kecerdasan emosi yang melandasi setiap tutur kata dan tindakan kita sejatinya adalah tanda bahwa kita dapat memaknai dan mengamalkan
Kecerdasan otak dan kecerdasan emosi yang melandasi setiap tutur kata dan tindakan kita sejatinya adalah tanda bahwa kita dapat memaknai dan mengamalkan "Al-Lathif"/ Foto: Ilustrasi Net
KOMENTAR

PERANG bisa di mana saja. Ada perang antarmiliter dua negara yang berlomba menunjukkan senjata siapa paling hebat dilihat. Peperangan yang dalam sejarah hidup manusia menjadi catatan kelam dengan dahsyatnya kerusakan yang ditimbulkan. Kota-kota yang hancur dan banyaknya jumlah korban jiwa.

Tak hanya secara fisik, perang masa kini bisa dilakukan dengan berbagai 'cara modern'. Ada tweet war, alias adu cuit di Twitter. Ada pula perang komentar atau perang story di Instagram. Perang di media sosial ini memang menjadi satu gaya baru 'adu mulut' antara anggota masyarakat. 

Berbahayanya, tawuran gaya baru tersebut dengan mudah diketahui puluhan juta orang dan sangat mudah memengaruhi pemikiran para warganet hingga memunculkan perang baru; perang antar simpatisan atau followers. Menghebohkan. Tak jarang perang di media sosial ini kemudian diteruskan hingga ke meja hijau.

Perang di media sosial memang menjadi sensasi. Sedemikian viral karena media online ramai-ramai menukilnya untuk dijadikan berita. Tak ayal membuat si pelaku perang menikmatinya. Betapa tidak, nama menjadi makin populer dan dikenal masyarakat. Tak peduli caranya halal atau tidak. Semakin liar semakin hebat, begitu mungkin yang ada di benak orang yang berperang.

Naudzubillah.

Bagi orang-orang yang memilih untuk berpijak pada adab mulia hablumminallah dan hablumminannas, tentu berbagai perang tersebut menjadi tidak masuk akal. 

Tidakkah ada kesadaran untuk berpikir sebelum mengunggah? Ke manakah akal budi manusia yang seharusnya menjadikan kedudukan manusia lebih mulia dan berperilaku lebih mulia dari makhluk lain ciptaan Allah? Tak mampukah nurani mencegah perbuatan sia-sia itu? Tak bisakah menjadi manusia yang cerdas?

Kecerdasan otak dan kecerdasan emosi yang melandasi setiap tutur kata dan tindakan kita sejatinya adalah tanda bahwa kita dapat memaknai dan mengamalkan "Al-Lathif".

Al-Lathif adalah salah satu dari 99 asmaul husna milik Allah SKecerdasan otak dan kecerdasan emosi yang melandasi setiap tutur kata dan tindakan kita sejatinya adalah tanda bahwa kita dapat memaknai dan mengamalkan "Al-Lathif".wt. yang bermakna Yang Maha Lembut. 

"Apakah Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan atau rahasiakan), dan Dia Maha halus lagi Maha Mengetahui?" (Q. S. Al-Mulk: 14)    

Allah bersikap lemah lembut kepada hamba-hamba-Nya. Ia memberi tanpa kita meminta. Ia melindungi tanpa kita menyadarinya.

Dengan penuh kelembutan, Allah mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya terang, dari kebodohan kepada ilmu pengetahuan. Allah menarik hamba-Nya keluar dari kekufuran menuju keimanan. Dia menuntun dengan lembut umat-Nya untuk menjauhi keburukan untuk mendekat pada kebaikan. Allah meneguhkan hati kita untuk tetap pada iman dan Islam dan tidak tergoda meski pintu maksiat terbuka lebar di depan mata.      

Allah juga menunjukkan kasih sayangnya yang penuh kelembutan dengan menghadirkan keluarga, sahabat, dan lingkungan yang dipenuhi orang-orang shaleh dan bertakwa. Mereka senantiasa mendorong kita untuk tak lelah berbuat kebaikan dan terus mendekatkan diri kepada Allah. Maka sangat penting untuk memastikan kita berada dalam 'ekosistem' yang isinya adalah orang-orang yang sibuk mengejar keridhaan Allah.

Maka yang terjadi adalah saling menasihati dalam kebaikan. Mencintai seseorang karena Allah, dan membenci seseorang juga karena Allah. Dengan begitu hablumminannas kita akan dibangun di atas fondasi ketakwaan kepada Allah.         

Hati yang lembut insya Allah mampu menolak keinginan menggebu untuk menghina orang lain. Hati yang penuh kelembutan akan menghadirkan rasa peduli terhadap kesulitan orang lain. Hati yang penuh kasih akan membuat manusia dapat berpikir dan merasa dengan cerdas.

Kita menyadari bahwa perang di media sosial yang berisi caci maki dan hujatan bukanlah jalan untuk menunjukkan kebenaran. Karena kebenaran tidak akan lahir dari kata-kata penuh amarah. Sikap arogan dan merasa benar sendiri hanya akan merendahkan kemuliaan kita sekaligus menunjukkan kekerdilan emosi kita. 

Semoga Allah melembutkan hati manusia yang tak henti mencipta sensasi dan melembutkan hati manusia yang dikalahkan bara amarah. Semoga Allah memberikan ampunan serta maghfirah yang menuntun kita menjadi manusia lembut berhati jernih, bertutur kata cerdas, dan berperilaku mulia.




Hubbu Syahwat

Sebelumnya

Bukankah Aku Ini Tuhanmu?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Tadabbur