Kemuliaan perempuan sejatinya tidak pernah berkurang meskipun harus hidup tanpa suami/ Net
Kemuliaan perempuan sejatinya tidak pernah berkurang meskipun harus hidup tanpa suami/ Net
KOMENTAR

SEKALI pun pernah gagal dalam pernikahan atau ditinggal mati suami hingga disematkan padanya status janda, kemuliaan perempuan sejatinya tidak berkurang.

Sayangnya, sebagian masyarakat masih memandang sinis status janda. Penyandang status ini kerap diasosiasikan dengan perempuan genit dan suka menggoda. Sementara terhadap laki-laki yang berstatus duda, justru disebut duda keren. Dipuji, bahkan digilai.

Jika pun ada seorang perempuan yang sikapnya seolah mencari perhatian lawan jenis—dan perempuan itu kebetulan berstatus janda, maka sikapnya itu bukan ‘dilahirkan’ dari statusnya.

Banyak perempuan yang menjanda tapi sukses mendidik anak-anak mereka menjadi generasi qur’ani yang shaleh dan shalehah. Banyak pula yang ketika menjanda mendapat hidayah untuk berhijrah.

Bukan suatu kebetulan jika beberapa tokoh terkenal di dunia menikahi perempuan berstatus janda.

Napoleon Bonaparte, misalnya, kaisar Prancis yang begitu perkasa di medan tempur memperistri Josephine de Beauharnais. Josephine merupakan janda dari suami yang dihukum pancung dengan Guillotine dalam Revolusi Prancis. Josephine memiliki dua anak dan berusia enam tahun lebih tua dari Napoleon.

Di Tanah Air, kita mengetahui cinta kasih Soekarno berlabuh ke dalam pelukan Inggit Ginarsih, janda berusia 33 tahun, sedangkan Bung Karno saat itu berusia 20 tahun. Bukan hanya kesetiaan, pengorbanan luar biasa dibuktikan dan dibaktikan Inggit dalam menyokong perjuangan Indonesia merdeka. Inggit yang bekerja keras banting tulang memperjuangkan ekonomi rumah tangga. Bahkan, Inggit turut serta mendampingi Bung Karno yang diasingkan penjajah Belanda, mulai dari Ende di Flores sampai ke Bengkulu di Sumatra.  
 
Dan tentu saja, sebagai muslim kita mengenal kehidupan rumah tangga Nabi Muhammad saw. Sepeninggal pujaan hatinya, Siti Khadijah, beliau menikahi janda-janda atas perintah Allah. Meskipun kemudian Nabi menikahi Aisyah yang masih gadis.

Kalau dirasa-rasa, tampaknya tokoh-tokoh di atas (termasuk juga tokoh-tokoh lain yang belum diungkapkan) tidak akan sulit mendapatkan istri yang gadis. Lantas apa yang melatarbelakangi mereka menikahi janda?

Tokoh-tokoh itu memiliki pemikiran besar, jiwa yang besar, dan cita-cita yang besar. Oleh sebab itu, mereka membutuhkan pendamping hidup yang seimbang, yang dapat menguatkan, meneguhkan, dan menyemangati dalam suka maupun duka.

Dan kriteria yang mumpuni tersebut biasanya dimiliki oleh perempuan yang menjanda. Perempuan tersebut memiliki kekayaan pengalaman hidup yang kemudian berpengaruh pada kematangan mentalnya.

Tokoh-tokoh yang menikahi janda itu telah melihat kepada hakikat, mempertimbangkan kualitas demi menjangkau impian jangka panjang, sehingga mereka tidak lagi tertawan hatinya dengan kesegaran raga, kebeliaan usia, atau kecantikan daun muda. Karena para gadis tidak memiliki kematangan mental untuk berjuang meraih impian besar. Terlebih karena usia mereka yang masih belia.

Nabi Muhammad menikahi beberapa janda yang suami mereka mati syahid di medan tempur membela agama dan negara. Sebetulnya, negara Islam melalui Baitul Mal telah melindungi janda dan anak-anaknya dengan santunan yang membuat mereka tetap hidup layak. Tidak ada janda berikut anaknya yang dibiarkan terlantar oleh negara. Lantas, buat apa Rasulullah menikahi janda-janda tua itu?

Beliau jelas mengusung misi memuliakan para janda. Dengan menikahi janda-janda itu, Nabi Muhammad membuat mereka mendapat status amat mulia, yang hanya segelintir perempuan di dunia ini mendapatkannya, yaitu Ummahatul Mukminin (ibu dari orang-orang beriman).

Penting diketahui, janda-janda yang dinikahi beliau itu telah mencapai usia lanjut. Mereka membawa juga bonus besar berupa anak-anak yang banyak, bahkan satu janda bisa memiliki lebih dari 10 anak. Lalu, apa peran janda tersebut, selain mendapatkan kehormatan dan kemuliaan diri?

Pada berbagai kejadian penting, istri-istri Rasulullah senantiasa ikut serta, bahkan secara bergilir turut dalam sejumlah peperangan. Dalam berbagai masalah genting, para istri Nabi itu turun tangan menjadi part of solution.

Contohnya dalam peristiwa Hudaibiyah, ketika para sahabat kecewa karena memandang dalam perjanjian itu merugikan pihak muslimin. Bahkan, mereka bersikap tidak acuh ketika Rasulullah memerintahkan untuk menyembelih hewan dan bercukur. Nabi Muhammad yang kecewa dengan sikap para sahabat kemudian menceritakan hal tersebut kepada istrinya, Ummu Salamah.  

Dengan amat gemilang, Ummu Salamah berhasil menenangkan suami sekaligus memberikan solusi nan indah. M. Mutawalli Sya’rawi menceritakannya dengan baik pada buku Al-Zaujah Al-Shalihah.

Ummu Salamah berkata, “Wahai Rasulullah, janganlah baginda mencela mereka, karena mereka sedang merasakan sesuatu yang besar di luar perkiraan mereka, ketika menyaksikan baginda mendapatkan kesulitan dalam Perjanjian (Hudaibiyah) itu dan mereka kembali dengan tangan hampa, tidak bisa membebaskan Mekkah. Wahai Nabi Allah, keluarlah kepada mereka dan jangan berbicara kepada siapa pun hingga baginda menyembelih sembelihanmu dan baginda panggil tukang cukur untuk mencukur rambut baginda.”

Nabi pun menaati saran istrinya yang merupakan janda dari sahabatnya. Setelah  melihat apa yang dilakukan oleh Rasulullah, maka para sahabat juga berebutan menyembelih hewan dan mencukur rambut.

Ummu Salamah membuktikan kematangan dirinya, berhasil menenangkan suami dan juga memberikan solusi yang langsung ditaati. Begitulah kematangan pribadi seorang janda yang membuatnya mulia dan pantas dimuliakan.

 

 




Hubbu Syahwat

Sebelumnya

Bukankah Aku Ini Tuhanmu?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Tadabbur