KEINDAHAN buku Stray Reflections memang tidak terduga, karena memang tidak dipersiapkan, maksudnya Muhammad Iqbal tidak pernah sengaja menulis buku itu. Setelah penyair, filsuf dan politikus Pakistan itu meninggal dunia, orang-orang mengumpulkan catatan-catatannya yang berserakan, lalu menjelma jadi buku tersebut.
Keunikan Stray Reflections terletak pada kalimat-kalimat yang padat, sarat makna dan menggugah hati. Namun bagi pembaca yang jeli, di balik keindahan tersebut juga terselip penyesalan M. Iqbal tentang cinta istrinya.
Sebagai penyandang gelar Bapak Pakistan Modern yang berjuang merintis negara Pakistan, M.Iqbal menghabiskan jiwa raga dan waktunya demi memperjuangkan kemerdekaan. Dan istrinya tertinggal sendirian memperjuangkan anak-anak dan rumah tangga.
Istrinya tidak pernah mengeluh semata-mata agar suaminya punya kesempatan luas mencapai cita-cita. Sang istri tetap mencurahkan cinta demikian tulusnya, karena menyadari begitulah risiko istri pejuang.
Setelah istri meninggal dunia, M. Iqbal diliputi kesedihan berbalut penyesalan yang teramat pedih. Barulah dirinya menyadari betapa besar cinta yang telah dicurahkan sang istri, tetapi tersapu oleh deru debu kehidupan. M. Iqbal berhasil membuktikan cintanya pada Pakistan, tetapi menyesal belum membalas cinta tulus istrinya.
Sepanjang usia pernikahan, istrinya tidak meminta apapun, kecuali satu hal saja, yaitu sebuah rumah. Tidak masalah rumah itu sekecil apapun, sederhana sekalipun, asalkan rumah sendiri. Karena sang istri memang amat lelah tiap sebentar pindah kontrakan.
Dan yang membuat M. Iqbal terluka, satu-satunya harapan istri pun tidak pernah terwujud hingga jasadnya berkalang tanah. Tidak banyak yang tahu betapa dalam pedih yang ditanggung Iqbal akibat tak mampu membalas cinta istrinya. Bahkan, anak-anaknya menyaksikan pada beberapa momen, diam-diam sang ayah mengusap airmatanya.
Pada episode lain yang nyaris sama ceritanya, seorang pria terduduk murung di sudut rumah di hari kematian istrinya. Orang-orang maklum, yang namanya kehilangan istri memang kerap berujung kesedihan. Lambat laun, toh dia akan kembali gembira, apalagi kalau sudah dapat istri yang baru, syukur-syukur dapatnya gadis muda pula.
Prediksi orang-orang meleset, karena pria itu seperti kehilangan hidupnya. Dirinya hanyut dalam murung yang berlarut-larut. Dia menghentikan bisnis restorannya yang demikian laris, yang menghadirkan banyak kekayaan. Orang-orang membujuk agar dia kembali membuka restoran demi menghibur hati, mengobati kerinduan pelanggan dan menghasil keuntungan.
Pria itu malah tidak sudi melihat restorannya, baginya, bisnis itulah yang merampas cintanya dari istri karena kesibukan yang teramat padat. Kini, setelah istrinya mati, jiwanya ikutan mati. Dia menyesal tidak mampu membalas cinta demikian tulus puluhan tahun tanpa pamrih dari sang istri.
Dan penyesalan itu dibawanya hingga ke liang lahat. Karena beberapa minggu kemudian pria itu meninggal dunia, dan orang-orang bersaksi di bibirnya ada seulas senyuman.
Banyak sekali yang dikorbankan jika hidup hanyalah mengejar dunia, dan salah satunya kita akan kehilangan kesempatan merasakan nikmat cinta. Dan malangnya, setelah orang-orang tercinta tiada maka penyesalan itu muncul secara menyakitkan.
Nabi Muhammad juga merasakan kepedihan setelah Khadijah meninggal dunia, bahkan tahun kematian istrinya itu disebut Amul Huzni atau tahun duka cita. Meski pun setelahnya Rasul --atas perintah Allah demi memuluskan dakwah-- telah menikahi beberapa perempuan, tetap saja cintanya pada Khadijah tidak pernah terlerai.
Hingga penghujung hayatnya, Nabi pun terus menyebut-nyebut keutamaan cinta Khadijah. Syukurnya, beliau tidak dibalut penyesalan, karena sepanjang usia pernikahannya, Khadijah menjadi bagian penting dari derap langkah perjuangan Nabi Muhammad.
Dan inilah yang menjadi kunci pembahasan kita; saat suami atau istri masih bernyawa, masih berada di samping, maka itulah kesempatan untuk berbalas cinta kasih. Jangan sia-siakan kesempatan untuk dicintai dan mencintai, agar sejarah cinta kita tidak berujung penyesalan.
Jangan biarkan kesibukan dunia ini merenggut kisah cinta kita, karena dunia ini sementara, sedangkan cinta itu membawa kepada keabadian.
Sebagai penutup, marilah kita simak bagaimana Kahlil Gibran membahas tema ini dalam syair-syairnya yang menawan:
“Tetapi jiwa tetap menyatu dengan aman dalam tangan-tangan cinta, sampai kematian datang dan membawa jiwa-jiwa menyatu itu kepada Tuhan.”
“Pergilah, kekasihku; cinta telah memilihmu sebagai utusannya; kepadanya, karena dia adalah kecantikan yang menawarkan kepada pengikutnya piala manisnya kehidupan, akan halnya lengan-lenganku sendiri yang kosong cintamu akan tetap menjadi mempelaiku yang menghibur; kenanganku, perkawinan abadiku.”
KOMENTAR ANDA