KOMENTAR

BEGINI jadinya kalau suami dan istri curhat kepada orang yang sama:

SANG istri begitu curhat langsung meloncat pada kesimpulan, “Suamiku itu tidak memahami perasaan wanita.”

Di matanya, sepanjang masa pernikahan kerja suaminya hanyalah menyakiti hati. Selama menjadi suami, dirinya cuma mementingkan diri sendiri. Tidak dipikirkan olehnya bagaimana istri yang terluka. Pokoknya keluh kesah sang istri itu panjang sekali.

Giliran suami yang curhat (di waktu berbeda tentunya). Sebelum menikah, nasibnya seperti lagu Slank; bohong salah, jujur malah tambah salah. Setelah menikah, nasibnya seperti lagu Seventeen; mengapa selalu aku yang mengalah.

Sang suami berkata, “Kalau saya yang salah, pastilah saya yang minta maaf. Giliran istri yang salah, saya juga yang minta maaf. Apakah perempuan sulit minta maaf?”

Perkara minta maaf itu erat kaitannya dengan kebesaran jiwa. Hanya orang-orang berjiwa besar yang bernyali untuk minta maaf. Selebihnya, mereka yang mempertahankan ego, yang berjiwa kerdil, bermental rendah; itulah mereka yang tidak akan sudi minta maaf, memandang dirinya selalu benar dan pantang kalah.

Dari penjelasan ini, kebesaran jiwa itu bukan masalah gender; lelaki atau perempuan sama-sama berpotensi mengalami kesulitan minta maaf.

Mengapa mengakui kesalahan begitu berat dan sulit bagi manusia? Inilah teka-teki yang tidak mudah dicarikan jawabannya yang memuaskan.
    
Muhammad Taqi Misbah Yazdi menerangkan pada bukunya 21 Nasihat Abadi Penghalus Budi bahwa mereka yang mempunyai anak atau sering bergaul dengan anak-anak tentu mengetahui bahwa meminta maaf dan mengakui kesalahan bukanlah hal yang sulit bagi anak-anak.

Hal ini berbeda dengan orang-orang dewasa yang cenderung susah untuk meminta maaf serta mengakui kesalahan, mereka justru bersikeras untuk terus melakukan kesalahan dan enggan membenahinya.

Mereka tidak mau berkata, “Ya, kami telah melakukan kesalahan,” namun mereka akan berkata, “Apa yang telah kami lakukan adalah benar.”

Akar sifat dan sikap ini adalah gharizah dzatiyyah "cinta diri" yang ada pada setiap manusia. Gharizah (baca: kecenderungan) ini seperti halnya gharizah-gharizah lainnya, ada yang berlebihan (ifrath), ada yang kurang (tafrith) dan ada yang seimbang (mu'tadil).

Mencintai diri pada dasarnya bukan saja tidak buruk tetapi juga baik dan sangat diperlukan. Dapat dipastikan, orang yang tidak mencintai dirinya, maka dia tidak akan berusaha menyempurnakan diri, bahkan dia juga tidak akan berusaha menjaga keselamatan jiwanya.

Hanya saja, segala yang berlebihan (ifrath) akan berujung keburukan, seperti halnya sikap menolak untuk meminta maaf yang dipandang merendahkan diri. Akibatnya seseorang itu jatuh kepada ego yang tinggi, atau bahkan terjerumus pada kesombongan.

Gharizah dzatiyyah atau cinta diri inilah yang perlu diarahkan kepada perspektif yang positif. Justru dengan meminta maaf itu kita mencintai diri dan ingin menyempurnakannya. Karena orang-orang yang meminta maaf itulah yang mulia, yang tinggi, yang berbudi. Bukankah kita sendiri menghormati orang yang minta maaf?    

Tidak ada faktor tunggal yang menyebabkan orang sulit meminta maaf. Tidak melulu penyebabnya ego yang tinggi, karena trauma juga bisa menjadi pemicunya.

Dengan lembut teman yang mendengar curhat di atas menggali akar dari masalah yang dialami sang istri. Dalam cerita yang panjang lebar, terkuaklah tentang masa kecil nan memerihkan hati. Dimana ia memiliki orangtua yang temperamental dan kerap menuntut kesempurnaan pada diri anak-anaknya.

Setelah dewasa dan begitu menjadi istri, trauma itu acap kali mengapung. Dia tahu dirinya yang salah, tetapi mengapa tidak mau minta maaf? Berdasarkan trauma masa lalu, maaf dipandangnya sebagai kelemahan diri. Dia tidak mau lagi terhina dan tersiksa sebagaimana masa kecilnya nan kelam.

Lalu bagaimana menasehati istri (tentunya juga suami) yang enggan minta maaf?

Bukan, masalahnya bukan mau atau tidak meminta maaf. Namun yang terpenting itu bagaimana meredakan traumanya, menenangkan batinnya dan mengembalikan fitrahnya sebagai manusia yang merdeka lahir batin. Yakinkan bahwa hidupnya kini telah indah, tidak ada lagi yang membuatnya tersiksa apalagi menderita batin.

Oleh sebab itu penting disadari, pernikahan itu beda jauh dengan saat mengenal pasangan. Dalam pernikahan bukan yang manis-manis saja, yang pahit-pahit juga perlu diterima. Terkadang pasangan butuh proses, yang butuh waktu pula.

Namun penting pula untuk diingat, jangan terlambat untuk minta maaf! Sebagaimana dalam kisah berikut ini:
Begitu suaminya di-PHK, istri bersuka cita. Kok bisa? Pasalnya suami mendapatkan pesangon ratusan juta rupiah. Uang sebanyak itu membuat sang istri kalap; hobi kuliner dan shoppingnya tersalurkan dengan sentosa.

Suaminya mengingatkan, tapi istrinya tambah galak. Dia pikir pekerjaan baru mudah dicari. Dan dalam hitungan bulan uang segitu banyak ludes. Karena suami masih pengangguran, istri pun panik. Dia buka usaha restoran, maka rumah dan mobil dijual sebagai modal. Toh, masih punya mobil dan rumah yang lain.

Pertengkaran hebat terjadi, dan seperti biasa suaminya yang kalah. Dan karena tanpa pengalaman, bisnis restoran pun bangkrut. Suaminya ingin keluarga menenangkan diri lebih dulu, dan tidak gegabah menjual aset. Dari pertengkaran hebat yang kembali berkobar, suaminya kembali kalah telak.

Sang istri membuka bisnis konveksi, dengan gagah berani berhutang. Dan hasilnya mudah ditebak, bisnisnya karam. Hutang-hutang yang menumpuk tidak terbayarkan. Rumah dan mobil terakhir dari jerih payah suami puluhan tahun pun dijual murah. Mereka sekeluarga pindah ke kontrakan sempit.




Menyambungkan Jiwa dengan Al-Qur’an

Sebelumnya

Sempurnakan Salatmu Agar Terhindar dari Perbuatan Keji dan Mungkar

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Tadabbur