KOMENTAR

MEREKA yang lalu-lalang di media sosial membuat saya begitu iri hati.
Sepertinya banyak sekali perempuan yang memiliki lebih dari satu (bahkan lebih dari dua!) profesi.

Ada yang jadi penyanyi sekaligus pengusaha restoran. Ada yang jadi PR sekaligus beauty enthusiast. Ada yang jadi selebgram sekaligus pemilik fashion brand. Ada yang jadi influencer sekaligus youtuber dan podcaster. You name it.

Mayoritas mereka adalah perempuan-perempuan muda berusia 20an hingga awal 30an. Lajang dan para mahmud. Mereka terlihat ‘mencolok’ dengan segala aktivitas, talenta, dan kepopuleran yang diraih.

Mereka adalah bukti nyata dari petuah nenek dulu tentang “perempuan harus serba bisa”.

Saat ini, pengertian “serba bisa” itu bukan sekadar serba bisa dalam urusan rumah tangga. Dahulu, secara turun-temurun, seorang ibu akan mengajarkan putrinya bagaimana menjadi perempuan yang cakap dalam urusan rumah tangga. Bagaimana piawai mengurus rumah tangga dan keluarga agar menjadi istri yang disayang suami.

Tips dan trik mencuci pakaian, menyetrika yang rapi, menyapu dan mengepel rumah, hingga resep-resep favorit keluarga pun diturunkan dari ibu ke putrinya, dan begitu seterusnya. Hingga akhirnya ‘terbentur’ zaman yang kian modern ini.

Dengan semangat Kartini, perempuan melaju sedemikian maju. Keluar dari rumah demi menggapai aktualisasi diri. Urusan rumah, pelaksanaannya diserahkan kepada support system.

Maka perempuan hebat saat ini didominasi perempuan yang memiliki karir cemerlang di berbagai bidang dan mampu me-manage support system untuk mengurus rumah tangga dengan baik. Dengan begitu, kehidupan pribadi bersinar dan kehidupan keluarga pun terjamin.

Kehidupan perempuan masa kini terlihat begitu kompleks dan multidimensi. Di tengah kemajuan zaman yang sangat pesat, ruang lingkup aktualisasi perempuan memang semakin terbentang luas.

Tapi, kekaguman saya terhenti sejenak.

Gara-gara suatu siang saya bertemu teman lama. Teman satu SD yang sudah tak pernah bersua sejak lulus dulu. Dalam sebuah acara kajian parenting, dia memanggil nama saya. Saya takjub dia masih mengenali wajah saya setelah ribuan purnama berlalu.

Ternyata dia menikah dengan tetangga saya. Hmmm...dunia memang sempit bukan?

Namun bukan itu yang membuat saya terpana. Melainkan cerita yang mengalir darinya tentang bagaimana ia dan suami memutuskan untuk menanggalkan jabatan tinggi di sebuah bank swasta demi kehidupan yang lebih sederhana dan islami.

Setelah itu, saya juga bertemu tetangga yang juga kakak kelas saya di madrasah tsanawiyah. Suaminya dulu berprofesi sebagai musikus.Terlibat dalam banyak album para penyanyi papan atas Tanah Air. Keduanya juga memutuskan meninggalkan kehidupan sebelumnya lalu memulai hidup bersahaja dengan berjualan buku-buku Islam dan pakaian syar’i.

Beberapa saat kemudian, saya bertemu sahabat semasa dulu bekerja di sebuah media. Dia bercerita tentang keluarga kecilnya. Tentang suami yang tak juga kunjung menyelesaikan S3 hingga beasiswanya diputus. Tentang bagaimana ia tertatih-tatih mengurus dua anak laki-laki tanpa ART untuk menyelesaikan S2 demi menggapai cita-cita sebagai dosen.

Dan tiba-tiba teks whatsapp dari sahabat lain masuk. Dia bertanya bagaimana kabar saya selama pandemi corona. Saya tahu, dia lulusan S2 jurusan ekonomi. Seharusnya bisa berkarir cemerlang di luar sana. Tapi, dia memilih menjalani karir termegah dalam hidupnya: mengurus dua buah hati—salah satunya adalah ABK—24 jam sehari. Kehidupan yang benar-benar menuntut kesabaran, kedisiplinan, ketekunan, dan kejeniusan untuk menjadi ibu sekaligus terapis.

Saya bukan ingin mengatakan bahwa menjadi perempuan berkarir cemerlang di luar rumah adalah kesalahan. Saya tidak ingin terlibat dalam mommies war, yang melahirkan debat kusir tentang siapa ibu terbaik—apakah yang berada di rumah, yang bekerja di luar rumah, atau yang bekerja dari rumah. Bukan itu.

Saya hanya ingin mata saya bisa memandang lebih luas, lebih jauh dari sekadar yang terpampang di media sosial. Saya harus bisa melihat lebih banyak lagi perempuan dengan kehebatan berbeda-beda yang tidak tertangkap kamera. Saya harus lebih banyak mendengar kisah dari para perempuan tentang bagaimana mereka menjalani peran mereka dengan sebaik-baiknya tanpa “panggung” bernama media sosial.

Duhai Rabb, izinkan saya cemburu pada mereka... perempuan-perempuan yang saya tidak tahu nama mereka, yang saya tidak tahu merek tas dan kosmetik mereka, yang saya tidak tahu seperti apa rumah mereka, yang saya tidak tahu sudah berapa kali mereka pergi ke Tanah Suci, yang saya tidak tahu berapa penghargaan yang mereka terima, yang saya tidak tahu berapa jumlah follower mereka, yang saya tidak tahu youtube channel mereka...

Wahai Rabb, izinkan saya iri pada mereka... mereka yang mencoba menjalani hidup menjadi perempuan salihah, menjaga kemuliaan diri, dan berzuhud dari kemewahan dunia. Perempuan-perempuan yang menjaga hijab mereka dengan hati bersih dan akhlak meniru Khadijah dan Aisyah.

Perempuan-perempuan yang tidak memerlukan lampu sorot untuk berjalan di muka bumi. Perempuan-perempuan yang menginspirasi lewat tindak-tanduk, bukan hanya lewat pemberitaan atau unggahan foto berikut captionnya. Perempuan-perempuan yang menjaga tawadhu, menjaga pandangan, dan menjaga keikhlasan mereka.

Rabb, mohon hadirkan iri dalam hati ini untuk mereka.

 

 




Mematahkan Mitos Menikah di Bulan Syawal

Sebelumnya

Menyibak Rahasia Syawal

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Tadabbur