KOMENTAR

 

ILMU itu serupa pohon. Ibadah itu laksana buah. Demikian tamsil Imam Ghazali dalam kitab Minhajul ‘Abidin.

Karena pohonlah, kita bisa menikmati bebuahan. Kita mengambil manfaat darinya. Pun ilmu. Pun bila kita berilmu. Karena kala mengetahui sesuatu alias berilmu, kita akan melakukan sesuatu, kita akan mengamalkan sesuatu. Terlebih jika ilmu yang dicapai adalah ilmu agama; mulai dari ilmu tauhid (teologi), ilmu syariat (fiqih), hingga ilmu hakikat (tasawuf).

Berilmu. Beribadah. Keduanya, jelas Imam Ghazali, sungguh tidak bisa dipisahkan. Keduanya sangat esensial; sangat penting dan hakiki.

Kendati demikian, ialah ilmu sebagai penggerak pertama seorang hamba untuk beribadah. Ia (ilmu) menjadi lebih utama. Ia menjadi lebih mulia. Ia yang mesti disigi dan direngkuh terlebih dulu agar ibadah terasa berisi dan mengisi jiwa. Tidakkah kita mau ibadah karena terlebih dulu tahu bahwa itu wajib atau sunnah atau mubah dengan senarai hujjah-nya.

Karena itulah, dalam QS. At-Thalaq:12 ditegaskan: “Allah yang menciptakan (dari tiada) tujuh langit dan (menciptakan pula) bumi seperti mereka (seperti langit yang tujuh itu). Turun perintah (Allah Swt.) antara mereka (yakni, antara langit dan bumi) supaya kamu mengetahui bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu dan bahwa Allah, ilmu-Nya sungguh meliputi segala sesuatu.”

Kata-kata “supaya kamu mengetahui” di atas menjadi kata kunci bahwa proses mengetahui sesuatu adalah fase terpenting sebelum beribadah. Bahkan Nabi saw. pernah bersabda: “Ilmu itu imamnya amal perbuatan, sedang amal itu yang mengikuti ilmu.”

Sebagaimana tetumbuhan, ada yang berbuah, ada yang tidak. Seumpama tanaman, ada yang menghasikan, ada yang gabug. Dan buah? Sungguh, tidak semua buah enak. Ada yang masam. Ada yang busuk. Malah, ada juga yang beracun.

Begitu pula ilmu. Ada ilmu yang benar-benar bergizi dan menginspirasi untuk bergerak, ada pula yang tidak. Terutama sekali ilmu-ilmu yang sejak dini ditempuh sebagai pemuas nafsu-nafsu ragawi; ilmu-ilmu yang dicari demi memenuhi ego-aku di dalam diri. Itu bisa pangkat. Bisa status sosial. Bisa yang lain-lain yang muaranya memenuhi kepuasan nisbi dan duniawi. Tak aneh bukan, jika kita kerapkali menjumpai para pemuka agama atau ustaz atau ilmuwan atau sejenisnya fasih menukil-nukil rujukan kitab-kitab (buku-buku atau riset-riset) tapi moralnya jauh panggang dari api? Berilmu, tapi tidak beribadah; tidak merealisasikan ilmunya pada laku yang selaras dan senafas dengan ilmu yang dimilikinya.

Sebaliknya, kita seringkali menjumpai manusia yang mengaku Muslim dan rajin beribadah tapi tidak berilmu. Benar-benar taklid buta dan tidak mau tahu apa muasalnya ia beribadah. Celakanya, yang tipikal begini lebih banyak. Mirisnya, yang sejenis ini lebih berkoar-koar dan merasa benar. Kalau pun merasa “berilmu”, ia belajar cukup di Mbah Google atau media sosial via Internet. Ironisnya: saya, Anda, atau siapa pun masih juga tergoda memperbesarnya, membaginya secara viral. Nad’uzbillah.

Tak aneh, bagi Imam Ghazali, ibadah dan ilmu, meski ilmu lebih mulia, adalah prasyarat mutlak menjadi hamba-Nya yang kaffah. Dan bila salah satunya absen, maka itu batil, maka itu senda gurau, yang tiada kebaikan di dalamnya, tiada hasil apa pun.

Agaknya, kita perlu mengingat sabda Rasulullah saw. berikut ini: “Memandang seorang alim lebih aku sukai ketimbang (memandang) sang abid yang berpuasa dan menunaikannya selama setahun.” Atau tengok juga perkataan Nabi yang lain: “Maukah kau kutunjuki penghuni surga yang paling mulia? ‘Para sahabat menjawab: “Ya, wahai Rasulullah.” “Merekalah para ulama di kalangan umatku.”

Ibadah dan ilmu. Manakah dari kedua perkara maha dahsyat tersebut yang mewakili diri Anda. Semoga keduanya ada di dalam hidup Anda. Semoga kita semua terus belajar menjadi hamba berilmu hingga ibadah terasa berbuah dan manis. Wallahualam bishshawab.




Sekali Lagi tentang Nikmatnya Bersabar

Sebelumnya

Anjuran Bayi Menunda Tidur di Waktu Maghrib Hanya Mitos?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Tadabbur