DEWAN Pembina Yayasan Melayu Raya Ahmad Thala’a menyayangkan pemberitaan berjudul “Polemik Lahan Yayasan Melayu Raya: 300 Ha di Desa Sena Deli Serdang Diduga Dilego Pihak Tak Bertanggung Jawab” yang dimuat di baraktime.com pada 15 September.
Pemberitaan ini menurut menurut Sultan Negeri Serdang tersebut, selain tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya, juga berisi tuduhan yang dapat memecah belah persatuan dan kesatuan Puak Melayu di bawah naungan Majelis Adat Budaya Melayu Indonesia (MABMI) yang dipimpin Prof. Dr. H. OK Saidin, S.H., M.Hum.
Karena itu, Ahmad Thala’a menyampaikan bantahan tegas terhadap pemberitaan dan tulisan yang beredar di media sosial tersebut.
“Saya selaku Ketua Pembina Yayasan Melayu Raya, sampai hari ini belum menerima penyerahan lahan yang diperuntukkan kepada Melayu Raya sesuai dengan Surat Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional No.42/BPN/2002, SK KaBPN No.43/BPN/2002, SK KaBPN No.44/BPN/2002, SK KaBPN No.10/BPN/2004,” ujar Ahmad Thala’a di Medan dalam keterangan yang diterima Farah.id, Kamis (18/9).
Menurutnya, Yayasan Melayu Raya telah melayangkan surat kepada Gubernur Sumatra Utara. Pada Mei 2025, Yayasan Melayu Raya juga mengirim surat kepada Menteri Badan Usaha Milik Negara dan Direktur Utama PT Perkebunan Nusantara III (Persero) memohon relaksasi pembayaran ganti rugi lahan eks HGU PT Perkebunan Nusantara I Regional 1 agar Yayasan Melayu Raya dibebaskan dari pembayaran uang ganti rugi penghapusan aset sebagai penghargaan kepada Masyarakat Melayu sebagai pemegang hak asal muasal tanah.
Diketahui bahwa Ahmad Thala’a bersama para sultan di Sumatra Timur lainnya merupakan Ketua Dewan Adat Majelis Adat Budaya Melayu Indonesia (MABMI).
Ahmad Thala’a menambahkan, pemberitaan tersebut sangat tendensius dan menggiring opini seolah-olah OK Saidin sebagai Ketua Yayasan Melayu Raya telah menarik keuntungan pribadai atas tindakannya melego tanah yayasan tersebut.
“Bagaimana lahan yang belum diperuntukkan kepada Yayasan Melayu Raya dapat diperjual-belikan? Sampai hari ini tidak pernah ada sepucuk surat pun yang mengatakan Yayasan Melayu Raya memiliki lahan seluas 300 hektare di Desa Sena. Ini sebuah fitnah yang keji,” tegas Ahmad Thala’a.
Informasi mengenai dugaan penjualan tanah tersebut, lanjutnya, sama sekali tidak benar. Yayasan Melayu Raya tidak pernah memperjualbelikan tanah warisan leluhur. Tuduhan ini sengaja disebarluaskan untuk mencemarkan nama baik yayasan dan mengaburkan fakta yang sebenarnya.
Selain itu menurut Sultan Serdang ini, tulisan yang beredar tidak hanya berisi informasi salah, tetapi juga menggunakan narasi yang berlebihan sehingga bersifat provokatif, menyesatkan, dan menggiring opini publik untuk memusuhi Yayasan Melayu Raya dan Majelis Adat Melayu Indonesia di bawah kepemimpinan Prof. OK Saidin.
“Kami menilai isu ini berbahaya karena dapat mengadu domba sesama masyarakat Melayu. Padahal, tanah warisan leluhur adalah perjuangan bersama yang tidak boleh dipisah-pisahkan oleh pihak mana pun. Masyarakat Melayu saat ini sedang berjuang mempertahankan hak-hak sejarah atas tanah warisan. Isu fitnah seperti ini justru melemahkan perjuangan dan merusak persatuan yang telah dibangun lebih dari tiga dasawarsa,” ujarnya.
Sultan Serdang tersebut menyerukan masyarakat Melayu agar tidak terprovokasi oleh isu yang menyesatkan. Menurutnya, Yayasan Melayu Raya akan terus konsisten memperjuangkan amanah leluhur, menjaga adat, melindungi tanah warisan, dan membela marwah Melayu.
Ketua Yayasan Melayu Raya, Prof. OK Saidin dalam kesempatan terpisah menyayangkan media yang menyiarkan pemberitaan ini tidak pernah meminta konfrimasi kepadanya. Namun demikian karena tulisan ini dalam bentuk oipini, tentu penulisnya harus bertanggung jawab atas tulisan tersebut.
Menurut OK Saidin, pada 16 September 2025, ia telah menerima tembusan surat klarifikasi via elektronik dari penulis opini. Penulis opini tersebut, Rahmat Muhammad, S.H., M.H., menyatakan bahwa tulisan di baraktime.com bukan tulisannya. Pencantuman namanya termasuk lembaga yang ia kelola adalah keliru dan di luar tanggung jawabnya. Dalam enam butir klarifikasinya, Rahmat Muhammad menyatakan tulisan tersebut merupakan buah pikiran Taufiq Umar Dani.
Menanggapi soal ini, OK Saidin menyebutkan bahwa jika benar Rahmat Muhammad tidak membuat tulisan tersebut, maka Rahmat adalah korban karena namanya sengaja dicatut untuk menyembunyikan identitas pelaku yang sebenarnya.
“Ormas Pemuda Melayu telah meminta saya untuk melakukan aksi atas tudingan ini, namun saya selalu ingatkan agar jangan menempuh langkah-langkah yang bertentangan nilai-nilai Islam dan nilai-nilai Kemelayuan. Kita serahkan penyelesaiannya melalui mekanisme hukum. Kita Melayu adalah masyarakat yang punya tata krama, adab, dan akhlak yang mulia,” ungkap Prof. OK Saidin.
Sementera itu, Asro Kamal Rokan sebagai Dewan Pengawasan Melayu Raya yang juga unsur Ketua PB MABMI mengapresiasi klarifikasi Rahmat Muhammad. Namun menurutnya, akan lebih jelas jika Rahmat mempersoalkan pencatutan namanya ke media yang menurunkan tulisan itu dan mendesak media tersebut mencabut dan meminta maaf pada Rahmat dan Yayasan Melayu Raya.
Menurut wartawan senior ini, apabila media yang memuat tulisan tersebut belum memiliki badan hukum berdasarkan ketentuan UU Pers dan mematuhi Kode Etik Jurnalistik, maka media tersebut dapat dianggap sebagai sosial media, yang kepadanya dapat diberlakukan UU Informasi dan Transaksi Elektronik.
“Apabila Yayasan Melayu Raya membawa soal ini ke ranah hukum, polisi mungkin saja menerapkan UU ITE. Saran saya, media tersebut menyampaikan permintaan maaf dan mencabut tulisan yang dapat berakibat hukum tersebut,” tegas Asro.
KOMENTAR ANDA