LAPORAN Bank Dunia baru-baru ini yang menyebutkan 60,3 persen penduduk Indonesia hidup dengan pengeluaran di bawah 6,85 dolar AS PPP per hari, memicu keprihatinan dan pertanyaan publik tentang kondisi kemiskinan riil di Tanah Air. Namun, para ekonom mengingatkan pentingnya memahami konteks dan metodologi di balik data tersebut agar tidak menimbulkan kesimpulan yang menyesatkan.
Dikutip dari ANTARA (10/6), Kepala Ekonom Permata Bank Josua Pardede menekankan bahwa garis kemiskinan versi Bank Dunia tidak dimaksudkan sebagai acuan kebijakan nasional, tetapi untuk komparasi global.
Bank Dunia diketahui menggunakan pendekatan purchasing power parity (PPP) guna menyetarakan daya beli antarnegara, sementara Badan Pusat Statistik (BPS) menerapkan pendekatan cost of basic needs (CBN) yang jauh lebih kontekstual dengan realitas konsumsi masyarakat Indonesia.
"BPS memperhitungkan standar konsumsi minimal 2.100 kilokalori per hari, ditambah kebutuhan dasar non-makanan seperti pendidikan dan tempat tinggal. Pendekatan ini lebih sesuai dengan kondisi sosial-ekonomi Indonesia," papar Josua.
Per September 2024, BPS mencatat tingkat kemiskinan nasional sebesar 8,57 persen atau sekitar 24 juta jiwa. Bandingkan dengan angka Bank Dunia yang menyebut 171,8 juta orang Indonesia berada di bawah garis kemiskinan menengah atas, berdasarkan standar 6,85 dolar PPP.
Sementara itu, Pengamat Ekonomi Binus University Doddy Ariefianto menilai interpretasi terhadap data Bank Dunia sering keliru. Menurutnya, standar 6,85 dolar seharusnya dipahami sebagai ukuran konsumsi layak di negara berpendapatan menengah atas, bukan kemiskinan absolut.
“Jika menggunakan standar 3,65 dolar—yang lebih sesuai untuk Indonesia—tingkat kemiskinan Indonesia menjadi sekitar 15,6 persen, jauh lebih realistis,” tegasnya.
Ia juga mengingatkan bahwa kemiskinan tak hanya soal pendapatan, tetapi juga soal akses terhadap layanan dasar. “Pendapatan tinggi tak berarti cukup, jika akses terhadap pangan, pendidikan, atau kesehatan masih terbatas,” tambah Doddy.
Validitas data BPS juga diperkuat oleh Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang secara rutin memotret pengeluaran dan pola konsumsi rumah tangga, dengan hasil yang disesuaikan secara wilayah, baik kota maupun desa.
Kesadaran publik penting dibangun agar masyarakat tidak terjebak pada persepsi keliru bahwa sebagian besar penduduk Indonesia adalah "miskin", hanya karena tak memenuhi standar konsumsi global.
Sementara itu, tugas negara tetap berat: memastikan seluruh lapisan masyarakat, terutama kelompok rentan, keluar dari lingkaran kemiskinan melalui kebijakan yang tepat sasaran dan data yang akurat.
Pemerintah Indonesia terus menggencarkan berbagai program strategis untuk mempercepat pengentasan kemiskinan, khususnya bagi kelompok bawah dan rentan. Beberapa inisiatif utama meliputi bantuan sosial tunai, penciptaan lapangan kerja, peningkatan akses pendidikan dan layanan kesehatan, serta program Makan Bergizi Gratis (MBG) di sekolah-sekolah.
Langkah-langkah ini dinilai berdampak langsung terhadap kesejahteraan masyarakat, serta menjadi fondasi penting dalam membangun ketahanan ekonomi jangka panjang yang inklusif dan berkeadilan sosial.
KOMENTAR ANDA