KEPEDULIAN masyarakat terhadap krisis lingkungan kembali menguat. Kali ini, protes besar-besaran meledak menyusul laporan investigatif dari Greenpeace Indonesia yang menyoroti eksploitasi di kawasan konservasi laut Raja Ampat, Papua Barat Daya. Tagar #SaveRajaAmpat pun menjadi trending topic nasional, menandai solidaritas digital terhadap salah satu ekosistem laut paling penting di dunia.
Dalam laporan tersebut, Greenpeace menyingkap praktik merusak seperti penebangan hutan bakau, pembangunan resor eksklusif tanpa studi AMDAL yang transparan, hingga dugaan ekspansi industri tambang dan pariwisata yang mengabaikan daya dukung lingkungan. Dampaknya bukan hanya pada kerusakan terumbu karang dan rusaknya rantai makanan laut, tapi juga pada kehidupan masyarakat adat yang bergantung pada alam Raja Ampat untuk bertahan hidup.
Laporan ini menjadi katalis yang memicu gerakan akar rumput. Dalam waktu singkat, masyarakat sipil dari berbagai kota menggelar aksi serentak: mulai dari Jakarta, Bandung, Yogyakarta, hingga Sorong.
Aksi ini menampilkan kreativitas khas kampanye Greenpeace — teatrikal ekologis, mural kritis, pawai simbolik, hingga instalasi replika karang rusak dan penyu mati yang mengingatkan publik pada kehancuran yang sedang mengintai.
Tagar #SaveRajaAmpat pun meledak di media sosial. Dalam dua hari, tagar ini digunakan lebih dari 300 ribu kali, menempati posisi teratas trending Twitter Indonesia dan viral di Instagram serta TikTok. Para warganet membagikan video keindahan laut Raja Ampat yang kini terancam, serta petisi online yang mendesak moratorium izin eksploitasi dan penguatan perlindungan kawasan konservasi.
Para influencer dan tokoh publik turut meramaikan gelombang ini. Aktris dan aktivis lingkungan Nadine Chandrawinata, Prilly Latuconsina, musisi Kunto Aji, hingga fotografer bawah laut Marischka Prudence, menyerukan ajakan untuk ikut menjaga Raja Ampat. “Keindahan ini bukan untuk dijual. Ini warisan untuk anak cucu,” tulis Nadine dalam unggahan Instagram-nya yang disukai ratusan ribu orang.
Protes tidak hanya dilakukan di ruang digital dan jalanan, tetapi juga dalam bentuk diplomasi budaya. Sejumlah seniman lokal menggelar pertunjukan musik dan tari Papua bertema “Tanah yang Menangis” di depan gedung kementerian, sementara komunitas akademisi meluncurkan kajian independen mengenai kerentanan ekologi Raja Ampat terhadap investasi eksploitatif.
Desakan juga mengarah pada pemerintah daerah dan pusat, khususnya Kementerian Lingkungan Hidup serta Kementerian Kelautan dan Perikanan. Masyarakat menuntut:
- Audit lingkungan yang independen dan dipublikasikan secara terbuka.
- Peninjauan ulang seluruh izin usaha di kawasan konservasi.
- Perlindungan hukum bagi masyarakat adat sebagai penjaga laut.
- Penguatan pengawasan oleh negara terhadap investor dan pelaku industri pariwisata.
Gerakan #SaveRajaAmpat menjadi bukti bahwa isu lingkungan kini menjadi perhatian publik luas, bukan hanya aktivis atau ilmuwan. Ketika alam terancam oleh sistem yang mengejar keuntungan tanpa etika, masyarakat bergerak, bersuara, dan menolak diam.
Raja Ampat bukan sekadar destinasi wisata — ia adalah simbol dari keanekaragaman hayati, keharmonisan antara manusia dan alam, serta harapan atas masa depan yang berkelanjutan. Pesan publik kini bergema jelas: jangan tunggu semuanya hancur baru bertindak.
Menyikapi perkembangan terkini, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia memberhentikan operasional tambang nikel PT Gag Nikel, anak usaha PT Aneka Tambang Tbk (Antam) di Raja Ampat, Papua Barat Daya.
Dilansir detikFinance, kebijakan Menteri ESDM menyetop sementara aktivitas perusahaan itu usai membekukan Izin Usaha Pertambangan (IUP) nikel milik PT Gag Nikel mulai Kamis (5/6).
Sebelumnya, pada forum internasional Indonesia Critical Minerals Conference & Expo di Hotel Pullman, Jakarta, (3/6), sekelompok aktivis Greenpeace bersama empat anak muda Papua membentangkan spanduk bertuliskan “Nickel Mines Destroy Lives” dan “Save Raja Ampat from Nickel Mining” di tengah pidato Wakil Menteri Luar Negeri Arief Havas Oegroseno.
Seperti diketahui, Raja Ampat bukan hanya destinasi wisata, melainkan rumah bagi masyarakat adat, habitat bagi 75 persen spesies karang dunia, dan wilayah konservasi yang diakui UNESCO sebagai Global Geopark.
Namun, lebih dari 500 hektare hutan telah dibabat untuk tambang nikel. Pelbagai pulau kecil, seperti Gag, Kawe, dan Manuran dijarah, padahal pelindungan hukum telah ditegaskan dalam UU No. 1 Tahun 2014 yang melarang aktivitas tambang di pulau kecil.
Meski perubahan iklim global menuntut segera terwujudnya energi bersih, tentunya transisi itu juga menuntut perlindungan hak-hak hidup masyarakat terdampak secara lingkungan, ekonomi, sosial, dan budaya.
KOMENTAR ANDA