Ilustrasi seorang anak muslim/Freepik
Ilustrasi seorang anak muslim/Freepik
KOMENTAR

SEDARI sekarang kaum muslimin telah gegap gempita mempersiapkan lebaran. Namun, ada suatu persiapan Idul Fitri yang hendaknya telah kita renungkan di akhir-akhir Ramadan ini. Dengan mulai membahasnya sejak saat ini, diharapkan hati kita terpanggil untuk melakukannya sebagaimana yang diteladankan oleh Rasulullah.

Syarif Yahya dalam buku Kasih Sayang Nabi (2023: 101-102) menceritakan:

Pada saat hari raya Idul Fitri, Rasulullah berjalan menuju masjid untuk shalat Id. Di tengah perjalanan tempat anak-anak kecil sedang bermain, tak jauh dari tempat mereka, duduklah seorang anak yang menangis dengan pakaian kusut.

Rasulullah kemudian mendekatinya dan bertanya, “Kenapa kau menangis? Kenapa kau tidak ikut kawan-kawanmu bermain?”

Anak kecil itu pun menjawab, “Ayahku telah meninggal dalam peperangan bersama Rasulullah. Kemudian ibuku menikah dengan seorang laki-laki, dan laki-laki itu merampas hartaku, lalu mengusirku. Aku tidak punya makanan, minuman, juga pakaian yang bagus dan tempat untuk kembali. Maka, jika aku melihat teman-temanku yang masih memiliki bapak sedang bermain dengan pakaian yang bagus-bagus aku jadi sedih, maka aku menangis.”

Rasulullah pun kemudian menggandengnya dan berkata, “Apakah kau mau jika aku menjadi ayahmu, Aisyah menjadi ibumu, Fatimah menjadi saudarimu, Ali menjadi pamanmu, serta Hasan dan Husain adalah saudara-saudaramu?”

Anak itu pun tersenyum mengetahui bahwa yang berada di hadapannya adalah Rasulullah. Kemudian ia berkata, “Bagaimana mungkin aku menolaknya, wahai Rasulullah?”

Kepekaan seperti Rasulullah dapat dimiliki juga oleh hati yang benar-benar terasah selama bulan Ramadan. Apabila ibadah Ramadan kita berhasil, maka apa yang dilakukan oleh Rasulullah tersebut menjadi mudah untuk diteladani. Karena yang masalah bukan berapa banyak yang bisa disumbangkan, tetapi bagaimana terlebih dulu membangkitkan kepekaan hati.

Nabi Muhammad menditeksi dengan cepat adanya keganjilan di hari yang mana seluruh umat Islam berbahagia. Hati beliau nan suci menangkap ada duka lara yang harus dihapuskan dengan cinta. Beliau bukan hanya menawarkan makanan atau minuman dan pakaian, tetapi memberikan anak itu kemuliaan.

Syekh Syihabuddin Al-Qalyubi dalam buku An-Nawadir (2018: 54) menerangkan:

Nabi Muhammad saw. membawa anak kecil itu ke rumah, memakaikan pakaian bagus, menghiasi, memberikan makanan, dan membuatnya senang. Anak itu pun keluar rumah dengan perasaan senang dan pergi bermain bersama teman-temannya.

Teman-teman yang melihatnya tampak senang bertanya, “Engkau sekarang begitu senang. Padahal, kemarin engkau masih menangis. Apa yang menyebabkan demikian?”

 “Aku lapar, lalu kenyang. Aku telanjang, lalu memakai pakaian. Aku seorang yatim, kemudian Nabi Muhammad menjadi ayahku, Aisyah ibuku, Fatimah saudariku, dan Ali pamanku," papar anak tersebut.

“Andai saja, ayah-ayah kami meninggal dunia pada peperangan itu!” sahut anak-anak.

Anak itu tersebut terus bersama Nabi Muhammad saw. hingga beliau meninggal dunia. Setelah kematian beliau, si anak keluar rumah, menangis, dan menaburkan pasir ke atas kepalanya.

“Sekarang, aku seorang yatim. Sekarang, aku seorang asing,” pekik anak tersebut.

Peristiwa ini tidak cukup disebut sebagai kejadian di hari raya, melainkan juga buah manis dari tempaan Ramadan. Di antara dampak positif Ramadan adalah lahirnya kelembutan hati yang kelak nanti terpancar di Idul Fitri.

Hendaknya selama Ramadan kita mengasah hati sehingga memiliki kepekaan yang tajam, sehingga mampu mendetiksi kondisi sosial. Sebagaimana Nabi Muhammad yang senantiasa menghidupkan malam-malam Ramadan, sehingga kebersihan hati beliau bersinar terang di Idul Fitri.

Ketika masih menjalani penghujung Ramadan, kita sudah sibuk memikirkan bahkan mempersiapkan kemeriahan lebaran. Apakah setelah menyimak kisah Rasulullah dan anak kecil itu muncul getaran di jiwa kita untuk memiliki kelembutan hati? Apakah muncul keinginan untuk mempersiapkan diri guna menyantuni anak-anak yatim dan fakir miskin?

Semoga saja kita tidak melewatkan hari-hari terakhir Ramadan kecuali dengan terus mengasahnya menjadi suci dan murni di Idul Fitri.  




Hubbu Syahwat

Sebelumnya

Bukankah Aku Ini Tuhanmu?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Tadabbur