Memperbanyak ibadah, salah satu persiapan mudik menuju hadirat Allah/Freepik
Memperbanyak ibadah, salah satu persiapan mudik menuju hadirat Allah/Freepik
KOMENTAR

KATA mudik kini demikian nyaring bergema di seantero Nusantara. Karena seperti ada yang kurang kalau tidak merayakan lebaran di kampung halaman. Tak dipedulikan jauhnya perjalanan, tak dipikirkan mahalnya biaya, tak diingat besarnya pengorbanan, tetapi orkestra mudik tetap melaju dengan beragam romantikanya.

Di balik tawa riang gembira saat kelak berjumpa keluarga, drama mudik juga menyisakan kepiluan bagi ribuan pemudik yang luka-luka atau deraian air mata mengiringi ratusan pemudik yang meninggal dunia setiap tahunnya.

Tahun 2023 lalu, korban meninggal dunia saat mudik mencapai 726 jiwa, sebelumnya di tahun 2022 lebih banyak lagi mencapai 1.121 korban jiwa.

Kurang apalagi upaya pemerintah yang bekerja keras menurunkan aparat gabungan, sehingga mereka sampai tidak sempat lagi berlebaran, demi menyukseskan agenda mudik di setiap Idul Fitri. Akan tetapi jumlah pemudik yang luar biasa banyaknya membuat berbagai drama beserta risikonya tetap terjadi tanpa dapat dihindari.

Sepenting itukah pulang kampung? Bukankah agama tidak pernah mewajibkan mudik? Apakah mudik itu sepadan dengan rekor ratusan hingga ribuan jiwa yang melayang tiap tahunnya?

Akan tetapi Rasulullah juga pernah mudik lho ke kampungnya!

Saat Fathul Makkah, Nabi Muhammad pulang ke kampung halamannya dengan kemenangan luar biasa. Tanpa peperangan, beliau berhasil membebaskan Makkah dari kaum musyrikin Quraisy dan penduduknya berbondong-bondong masuk Islam.

Sahabat dari kaum Anshar mulai khawatir, tampaknya Rasulullah tidak akan kembali lagi ke Madinah. Kesedihan mulai melanda kaum Anshar yang teramat tulus mencintai Rasulullah.

Dan ternyata, Nabi Muhammad tidak berlama-lama mudik. Tak lama kemudian beliau meninggalkan Makkah dan kembali lagi ke bumi hijrah, yakni Madinah. Beliau tidak terlena dengan romantisme mudik, karena harus segera kembali melanjutkan perjuangan dakwah.

Demikian pun kita tidak akan berlama-lama mudik, sebab masih ada tanggung jawab yang harus ditunaikan. Lagi pula, mudik ke kampung halaman bukanlah mudik yang hakiki. Kalau kita mau mudik yang sebenarnya, maka ketahuilah bahwa itu adalah mudik kepada Allah semata. Hakikat mudik hanyalah satu, yakni kembali kepada Allah. Inilah mudik yang tidak akan kembali lagi.

Jalaluddin Rakhmat dalam bukunya Jalan Rakhmat: Mengetuk Pintu Tuhan (2013: 342) menjelaskan:

Marilah kita melihat ke kiri dan ke kanan kita. Mari kita periksa orang-orang yang kita cintai, ayah bunda kita, saudara kita, kekasih, tetangga, sahabat atau handai taulan kita.

Adakah di antara mereka yang tidak dapat bergabung bersama kita di sini? Adakah di antara mereka yang sudah meninggalkan kita untuk kembali kepada Allah Swt.?

Ke mana ayah dan ibu kita yang tahun lalu menyambut uluran tangan kita dengan tetesan air mata dan kasih sayangnya? Ke mana kakak, adik, dan saudara-saudaranya yang pada lebaran lalu gelak tawa berbagi kebahagian bersama kita? Ke mana tetangga dan sahabat dekat kita yang dulu memeluk kita dan mengucapkan selamat Hari Raya Idul Fitri.

Ya Allah, mereka telah kembali kepada-Mu, mereka telah mudik ke sisi-Mu, radhiatan mardiyyah.

Dalam setiap kehilangan itu, kita disadarkan akan hakikat bahwa kita semua adalah tamu sementara di dunia ini. Kita semua akan kembali kepada-Nya pada waktunya yang telah ditentukan. Dan dalam kepergian mereka, kita diingatkan akan kebutuhan untuk selalu siap menghadapi perpisahan ini dengan hati yang lapang dan penuh ketundukan kepada kehendak-Nya.

Mudik bukanlah sekadar tentang perpisahan dan kehilangan, melainkan juga tentang kegembiraan dan harapan. Karena di balik setiap perpisahan, ada janji keabadian bagi mereka yang telah kembali kepada Allah dengan hati yang radhiatan mardiyyah, dalam kondisi yang diridai dan diterima-Nya. Ini adalah kebahagiaan yang sejati, yang tidak akan tergoyahkan oleh perubahan dunia atau bersalinnya waktu.

Mudik, sebuah kata yang membawa makna mendalam dalam kehidupan kaum muslimin. Ini bukan sekadar perpindahan fisik dari satu tempat ke tempat lain, melainkan sebuah perjalanan spiritual yang tak terhindarkan bagi setiap pemudik.

Hakikat mudik adalah satu: kembali kepada Allah. Ini adalah perjalanan yang tidak akan kembali lagi, sebuah perjalanan yang mengantarkan kita pada keabadian di sisi-Nya.

Ramadan belum lagi usai, tetapi kafilah mudik sudah bertarung di jalanan. Semoga Alalh Swt. memberikan perlindungan kepada mereka dan kita sama-sama mendapatkan mudik yang sejati.




Hubbu Syahwat

Sebelumnya

Bukankah Aku Ini Tuhanmu?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Tadabbur