Para perempuan pecinta batik pesisir yang tergabung dalam Sapawastra/Ist
Para perempuan pecinta batik pesisir yang tergabung dalam Sapawastra/Ist
KOMENTAR

ATMOSFER pemakaian batik tak lagi di seputar masyarakat Jawa. Karyawan perkantoran, pelaku kreatif, anak sekolah, hingga pekerja warung di berbagai daerah, memiliki tradisi memakai batik.

Perkumpulan pencinta kain Nusantara, Sapawastra, melakukan kampanye dengan menghadirkan “Kembang Pesisir” agar batik dan kebaya terus lestari di zaman yang kian berkembang. Belasan perempuan tampil berkain batik pesisir dari berbagai daerah seperti Lasem, Pekalongan, Madura dan Cirebon, yang dipadankan dengan kebaya kembang bernuansa kemben dan selendang khas perempuan Indonesia. 

Nury Sybli, Founder Sapawastra menjelaskan, tema ini diangkat sebagai upaya membaca kembali akulturasi budaya dari lembaran batik. Batik pesisir ibarat "belanga peleburan", tempat lahirnya kebudayaan baru yang unik akibat pertemuan para pedagang, pelawat, dan agamawan, dengan penduduk setempat.  

“Mencintai batik tak sekadar memakai, tetapi juga belajar tentang sejarah bangsa-bangsa, serta perkembangan agama. Pada batik pesisir, kita bisa belajar tentang akulturasi budaya dan tolerans,  karena batik pesisir lahir dari perjumpaan bangsa Eropa, Belanda, Arab, India dan China yang datang ke Indonesia,” papar alumni UIN Syarif Hidayatullah itu di Warung Tuman BSD, Tangerang Selatan. 

Selain pengaruh budaya luar, batik pesisir yang coraknya beraneka ragam juga dipengaruhi perkembangan Hindu, Buddha, dan Islam. Motif batik pesisir itu spontan, apa yang tumbuh di lingkungan atau apa yang dirasakan dari kehidupan. Bunga, ranting, burung, sampai ombak menjadi motif batik. Ini semacam pesan sederhana agar menjaga kelestarian alam.

Hal senada disampikan Hesty Setya, anggota Sapawastra yang hadir. Hesty yang mengenakan batik gentongan menunjukkan kentalnya unsur kecintaan pembatiknya kepada semesta.

“Pada sarung ini digoreskan motif ombak, ganggang, dan tumbuhan sekitar pantai. Motif ini dibuat oleh perempuan-perempuan yang menanti suaminya berlayar dengan menyematkan doa untuk keselamatan,” jelasnya.

Lebih lanjut Nury menjelaskan, umumnya para pembatik ini adalah para istri yang sedang menunggu suaminya berlayar, berharap ombak tenang sehingga bisa mengantar suami mereka kembali ke rumah. Terasa di sini membatik menjadi ritual doa agar para suami selamat, sehat, dan membawa hasil ikan yang melimpah.

“Tradisi yang sama juga dilakukan para perempuan Bugis yang ditinggal suami berlayar. Mereka dengan setia menenun di kolong rumah sambil menanti suami sekaligus merapalkan doa-doa panjang,” jelas Ibu satu putri ini.

Ganggang merupakan tumbuhan laut yang berfungsi melindungi hewan-hewan kecil yang dimaknai bahwa sebagai manusia mesti berlaku lemah lembut sekaligus bisa melindungi dan berguna bagi orang lain. Motif bunga-bunga pada batik pesisir juga mengisaratkan kelembutan seorang perempuan.

Bentuk atau motif yang sangat bervariasi dan banyak memiliki unsur flora dan fauna ini menjadi pembeda batik pesisir dengan batik pedalaman atau keraton yang cenderung tegas dan kental dengan warna-warna cokelat atau sogan.

Mengenal batik pesisir

Batik pesisir dikenal dengan warna yang bervariasi karena pengaruh beberapa negara seperti China (warna merah) dan ornamen banji kotak-kotak yang saling bersambung serta  warna biru (Eropa dan Belanda).

Akulturasi budaya di pesisir utara Jawa, terutama Pekalongan, terjadi karena Pelabuhan Pekalongan pada waktu lampau merupakan pelabuhan ekspor-impor (1882), sehingga pedagang dari sejumlah negara berkumpul di pelabuhan kosmopolit itu, bahkan ada yang memilih menetap di Pekalongan.

Karena itulah, motif batik di wilayah Pekalongan berwarna-warni karena terpengaruh kedatangan budaya asing, dengan tidak meninggalkan budaya asli mereka, Jawa.

Kemudian pada 1940-an Jepang masuk ke Indonesia dengan membawa budaya baru dan muncul batik yang dikenal dengan Djawa Hokokai. Konon, batik Djawa Hokokai ini dibuat pada zaman Jepang sebagai pemberian hadiah kepada para pengusaha atau orang yang melakukan kerja sama ekonomi dengan Indonesia.

Penamaan Hokokai itu memang diambil dari nama organisasi ekonomi Indonesia pra-kemerdekaan yang dibentuk oleh Jepang. Batik Djawa Hokokai diwarnai dengan motif bunga sakura dan kupu-kupu. Pada motif inilah kemudian muncul warna kuning, cokelat, biru, dan merah.

“Motif Hokokai ini didominasi bunga-bunga, burung hong, penchuk, dedaunan, dan ada salur-salur melintang yang menggambarkan ombak laut,” kata Hesty.

Batik Pedalaman

Bsatik pesisir biasanya dibuat dan dipakai oleh rakyat biasa yang tinggal di luar keraton, sehingga motifnya bebas aturan, tanpa patokan teknis, dan dikerjakan sebagai pengisi waktu luang para istri. 

“Banyak warna yang tidak dijumpai di batik-batik klasik atau batik pedalaman,” tutur Nury.

Untuk diketahui, batik pedalaman atau juga dikenal dengan batik kraton adalah wastra batik dengan pola tradisional, yang sesuai dengan tatanan kepribadian lingkungan kraton.




Buah dan Sayur Sebagai Pengganti Skincare, Memang Bisa?

Sebelumnya

Mouna by Falasifa, Modest Wear Sporty-Casual yang Lahir dari Kedalaman Spiritual

Berikutnya

KOMENTAR ANDA