Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, saat memberikan keterangan pers di sela-sela KTT ASEAN ke-43 di JCC, Jakarta/Net
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, saat memberikan keterangan pers di sela-sela KTT ASEAN ke-43 di JCC, Jakarta/Net
KOMENTAR

UPAYA Junta Militer Myanmar untuk mendapatkan pengakuan internasional, mendapat pukulan telak usai negara-negara ASEAN menolak kepemimpinan Myanmar di ASEAN pada 2026 mendatang, Dalam pernyataan resminya ASEAN menegaskan menyerahkan keketuaan 2026 pada Filipina.

Dalam pernyataannya mengenai Myanmar, para pemimpin ASEAN menekankan keinginan untuk bekerja sama dengan para jenderal guna mengaKhiri krisis di negara itu. Terutama, dalam konteks rencana lima poin yang diterima Myanmar pada 2021, tetapi sebagian besar gagal dilaksanakan.

Para pemimpin ASEAN juga mendesak Angkatan Bersenjata Myanmas dan semua pihak terkait untuk mengurangi eskalasi kekerasan dan menghentikan serangan yang menargetkan warga sipil, rumah dan fasilitas umum, seperti sekolah, rumah sakit, pasar, gereja, dan biara.

Jika bukan Myanmar, lalu negara mana yang akan mengambil alih keketuaan ASEAN di 2026 mendatang?

Kembali dalam pernyataan resminya, ASEAN menegaskan keputusan untuk menyerahkan keketuaan 2026 pada Filipina dan menegaskan komitmen blok pada rencana lima poin untuk memulihkan perdamaian dan stabilitas di Myanmar.

Di pertemuan puncak ASEAN yang diselenggarakan pada Selasa (5/9) malam, Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr menyampaikan bahwa negaranya setuju untuk mengambil alih kepemimpinan ASEAN tahun mendatang. Hal ini disampaikannya dalam pertemuan tertutup dengan pemimpin negara ASEAN lainnya.

“Dengan senang hati saya mengumumkan, Filipina siap untuk memimpin ASEAN pada 2026,” ujar Marcos usai pertemuan.

Sementara itu, Menteri Luar Negeri (Menlu) RI Retno Marsudi menyatakan, para pemimpin ASEAN memutuskan untuk tetap berpegang pada rencana perdamaian, meskipun ada penilaian rencana tersebut belum membawa kemajuan dalam meredakan krisis.

Retno juga menegaskan, para jenderal Myanmar akan terus dilarang menghadiri pertemuan tingkat tinggi ASEAN.

Organisasi pemantau hak asasi manusia, Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik, mencatat sejak kudeta tentara Myanmar telah membunuh sekitar 4.000 warga sipil dan menangkap 24.410 lainnya.

Sebagai hukuman atas kegagalan mereka mematuhi rencana perdamaian, maka para jenderal tertinggi Myanmar dan pejabar yang ditunjuk, kembali dilarang menghadiri pertemuan puncak tahun ini di Jakarta.

Namun, beberapa negara menyarankan agar Myanmar diizinkan kembali berpartisipasi, lantaran ‘pengusiran’ mereka juga tidak dapat menyelesaikan konflik di negara tersebut.




Rakerkesnas 2024, Presiden: Indonesia Harus Bisa Manfaatkan Bonus Demografi

Sebelumnya

Tak Lagi Berstatus Ibu Kota, Jakarta Siap Melesat Jadi Pusat Perdagangan Dunia

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel News