KOMENTAR

SELAIN terkenal dengan kiriman tenaga kerjanya, Indonesia juga pengirim jemaah haji dalam jumlah sangat besar. Tiap tahunnya ratusan ribu muslim Indonesia berangkat memenuhi undangan Ilahi ke tanah suci. Andai kata tak dibatasi kuota, jumlah jamaah haji Indonesia akan jauh lebih membludak.

Di negeri ini, haji telah menjadi ibadah prestisius. Ada gengsi sosial yang mengangkat derjat seorang haji di depan publik. Sehingga orang-orang pun rela mengorbankan banyak hal, seperti menabung puluhan tahun, banting tulang siang malam, bahkan menggadai atau menjual aset harta benda.

Jumlah haji Indonesia seringkali mencengangkan dunia. Idealnya jumlah besar penyandang gelar haji akan mewarnai membaiknya perilaku anak bangsa. Tetapi tidak selalu pengaruh positif, nyatanya sepulang menunaikan haji, justru korupsi semakin garang, yang kejahatan kian zalim, dan yang kekejiannya tak lagi terkendali.

Lantas apa yang salah dari haji?

Mengejar Mabrur

Jelas kondisi yang tidak mengenakkan itu bukanlah kesalahan ibadah haji. Namanya ibadah tentu dibaluti kesucian yang agung. Apabila pelaku ibadah haji tidak menunjukkan prilaku terpuji, maka tentunya ada yang perlu diselidiki.

Banyak yang sukses berhaji, tapi banyak pula yang gagal meraih mabrur. Jamaah haji Indonesia sering mencengangkan dari segi jumlah. Kini tiba saatnya kita menambah dengan rekor peraih haji yang mabrur, karena dampak positifnya amat berguna bagi lingkungan sosial.

Kualitas haji yang diraih di Mekah justru akan terbukti di kampung halaman. Tatkala terjadi perubahan visi hidupnya dari orientasi dunia menjadi akhirat, dari proyek personal menjadi kemaslahatan umat, dari egoisme pribadi menuju kesalehan sosial.

M. Hamdan Rasyid & Saiful Hadi El-Sutha dalam buku Panduan Muslim Sehari-hari (2016: 38) menerangkan:

Jamaah haji yang selama proses pelaksanaan ibadah hajinya benar-benar melaksanakan berbagai rukun, wajib, dan sunah-sunah haji serta meninggalkan seluruh ucapan dan tindakan yang diharamkan bagi orang-orang yang tengah melakukan prosesi ibadah haji (muharramat al-ihram) dengan penuh keimanan, keikhlasan, dan penghayatan sehingga memperoleh predikat “haji mabrur”, niscaya ia akan memperoleh balasan surga dari Allah.

Rasulullah bersabda, “Dari umrah ke umrah adalah dapat menghapus dosa-dosa yang dilakukan di antara keduanya. Sedangkan haji yang mabrur, maka tiada balasan yang layak untuknya kecuali surga.” (HR. AI-Bukhari dan Muslim)

Di samping meraih surga, orang-orang yang meraih haji mabrur dalam pelaksanaan ibadah hajinya, maka dapat dipastikan ia akan meraih kesuksesan hidup dalam arti yang sesungguhnya.

Oleh-oleh terindah dari haji bukanlah kopiah atau jubah putih, atau air Zam-zam, melainkan haji yang mabrur. Posisi termulia itu adalah berhasilnya mempertahankan mabrur pasca menunaikan ibadah haji.

Haji yang mabrur itu tercermin pada tingkah lakunya yang menebar kebaikan di bumi, karena jiwanya dekat pada Allah. Sehingga, sekembalinya ke tanah air, kesucian hatinya menjadi berkah bagi masyarakat. Dia menjadi pejuang sosial yang mengajak manusia kembali pada fitrah Ilahiah. Hanya haji mabrur yang diterima Allah. Selain yang mabrur, cuma prestisius di depan manusia belaka.

Mabrurnya haji berkaitan dengan sikap prilaku pasca ibadah haji. Sekembalinya dari Mekah, ibadahnya lebih meningkat dibanding sebelum berhaji. Dia menjelma sebagai pribadi yang istikamah menaati Allah. Dia kembali ke kampung halaman dalam keadaan bertobat. Ibadah hajinya merupakan motor penggerak baginya dan masyarakat sekitarnya menuju kebaikan.

Jika disingkap lembar sejarah, dahulunya haji merupakan perjalanan berat yang menempa kekuatan lahir batin. Usai meraih haji di tanah suci, di kampung halaman mereka jadi pendakwah yang gigih, bahkan menjadi pahlawan bangsa mengusir penjajah.

Kyota Hamzah dalam bukunya Haji: Ibadah yang Mengubah Sejarah Nusantara (2022: 95-96) menerangkan:

Pemberian gelar “haji” dimasukkan dalam aturan “Staatsblad” tahun 1903 dan resmi diberlakukan melalui peraturan Ordonansi Haji tahun 1916, di mana pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan keputusan yang mewajibkan setiap orang yang pulang dari haji menggunakan gelar “haji” pada namanya. Tak lupa pakaian khusus yang dapat dikenali oleh masyarakat umum maupun oleh pemerintah Hindia Belanda kala itu.

Petugas intelijen Hindia Belanda dapat langsung menciduk “terduga makar” melalui masyarakat setempat. Dengan ciri berupa pakaian dan gelar khusus akan mudah mencari dan mengamati mereka. Untuk apa gelar haji? Supaya gampang intelijen mengawasi, sejak 1916 itulah setiap orang Indonesia yang pulang dari luar negeri diberi gelar haji.

Begitulah ngerinya pihak penjajah sehingga langsung mewajibkan gelar haji, supaya mudah dipantau atau ditangkap kapan saja. Kenapa? Karena para jamaah haji di zaman dahulu menampilkan kemampuan dalam mabrur.

Ya, sepulang dari Mekah, mereka langsung membuktikan hajinya benar-benar memberikan dampak kebaikan yang memancar dari jiwanya dan menerangi lingkungannya. Dalam ibadah haji mereka menemukan inspirasi suci demi menegakkan kebenaran Ilahi.

Sayangnya manusia lebih tergoda dengan hal-hal yang materi dan abai mengikat yang hakikat. Akibatnya, ibadah haji tidak memberi polesan cemerlang bagi iklim batinnya. Dia mungkin saja tersenyum cerah saat dipanggil pak haji, tapi kemabruran tak kunjung hadir dalam sikap hariannya. Karena kesombongan tidak terkikis dari hatinya, kejahatan belum lenyap dari lidah dan tangannya.

Menuju Haji Sejati

Di Namirah, sebuah desa sebelah timur Arafah, Nabi Muhammad menunggangi untanya Al-Qaswa’ sampai di daerah Urawah.




Ana Khairun Minhu

Sebelumnya

Hubbu Syahwat

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Tadabbur