Ilustrasi/Net
Ilustrasi/Net
KOMENTAR

DUNIA berubah begitu cepat, jika dulu kenakalan remaja sangat menghebohkan, kita meningkat menjadi kejahatan anak. Ya, pelaku kejahatannya adalah remaja dan yang dilakukannya sungguh di luar nalar sekaligus mengundang tanda tanya besar, bagaimana bisa anak melakukan kejahatan seperti yang dilakukan pelaku professional?

Jawabannya, kini anak-anak punya banyak rujukan untuk menimba pengetahuan tentang kejahatan. Selain belajar dari dunia nyata, dunia maya semakin mempermudah wawasan yang menyimpang itu. 

Esti Junining dalam bukunya Membaca Kritis, Membaca Kreatif (2017: 36) menjelaskan, setiap manusia dilahirkan tidak bersalah dan dua pertiga manifestasi yang negatif diperoleh dari cara orang tua membawa anak dan lingkungan sosial anak.

Jika anak tersebut hanya memiliki contoh yang agresif dan keras di lingkungan sosialnya, tidak diterima dan dibimbing oleh orang tua, dan tidak didukung oleh guru, maka kepribadian anak akan turun.

Misalnya, jika seorang anak diperlakukan secara kasar, ia memiliki kontak taktil dan kelembutan yang turun. Penurunan ini memiliki bentuk yang paling keras, yaitu ketidakstabilan emosi anak, agresi dan kekerasan terhadap orang lain. 

Hal ini lebih penting untuk mencegah anak-anak tidak melakukan kejahatan atas dasar apa kejahatan sesuai dengan hukuman, karena mencerminkan apa yang dipikirkan oleh keluarga dan masyarakat.

Dua aspek paling dominan yang menciptakan kejahatan anak; yakni peran orang tua yang salah dalam mendidik dan juga pengaruh negatif dari lingkungan sekitarnya. Bahkan penyebab kedua pun dapat diminimalisir sekiranya peran orang tua benar-benar optimal. Selagi orang tua mendidik dengan baik, selama orang tua mampu memberikan lingkungan yang beradab, niscaya akhlak anak akan tetap terjaga.

Sebelum lagi menjadi suatu tindakan kriminalitas, bahkan Rasulullah Saw sudah mencegah bibit-bibit negatif sejak usia dini. Misalnya, beliau melarang anak-anak mengikat unggas lalu menjadikan binatang itu sasaran memanah.

Abdul Wahab Abdussalam Thawilah dalam bukunya Fikih Kuliner (2010: 359) mengungkapkan: Abu Darda meriwayatkan bahwa Rasulullah melarang mujtsamah, yaitu burung atau kelinci atau binatang sejenisnya yang diikat dan dijadikan target panahan atau alat semisalnya hingga mati. 

Sa’id bin Umar meriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa ia menemui Yahya bin Sa’id. Saat itu, seorang anak Yahya sedang mengikat ayam dan melemparinya. Ibnu Umar menghampiri lalu melepas ayam itu, kemudian membawanya berikut si anak.

Lalu dia berkata, “Larang anak kalian dari tindakan membunuh burung ini dengan cara mengikatnya lalu melemparinya. Sungguh, aku mendengar Nabi Saw melarang membunuh binatang atau lainnya dengan cara mengikatnya lalu melemparinya perlahan.” 

Sa’id bin Jubair kemudian bercerita, “Aku berada di samping Ibnu Umar, lalu lewatlah beberapa orang pemuda atau sekelompok orang. Mereka mengikat seekor ayam dan memanahinya. Melihat Ibnu Umar, sontak mereka semua kabur.” 

Ibnu Umar berkata, “Siapa yang melakukan ini? Sungguh, Nabi Saw mengutuk orang yang melakukan ini.”

Sejak usia dini anak-anak dicegah dari perbuatan buruk, meskipun itu terkesan ringan dan disepelekan oleh sebagian pihak. Sebagaimana Nabi Muhammad Saw melarang anak-anak yang menjadikan burung sasaran anak panah mereka, karena perbuatan itu sama artinya dengan penyiksaan. 

Kendati hewan bersayap itu kecil mungil yang diremehkan, atau walaupun hanyalah binatang, tetap saja aksi menyiksa tidak diperbolehkan. Karena yang terjadi bukan hanya penyiksaan terhadap binatang, tetapi berdampak tertanamnya bibit-bibit kekerasan di sanubari anak. 

Begitu pun dengan anak-anak yang mengalami kekerasan, lambat laun jiwa mereka menyerap kekerasan yang dialami sebagai pengetahuan yang kemudian hari dipraktikkan kepada orang lain. 

Sungguh publik tidak habis pikir melihat anak-anak yang melakukan kejahatan atau kriminalitas dengan ekspresi yang dingin, seolah kejahatan itu hanyalah sesuatu yang amat biasa. Kekerasan yang anak-anak alami telah mematikan hati nurani mereka. Dari itulah, anak-anak perlu terjaga supaya tidak menjadi korban kekerasan, entah itu dari pihak luar apalagi dari dalam keluarga sendiri.

Lingkungan yang mendukung akan turut membentuk watak kebaikan pada kepribadian anak. Tidak mungkin mendadak begitu saja seorang anak menjadi penjahat, pastinya ada pengaruh negatif atau malah ada yang membimbing mereka ke arah yang buruk. 

Termasuk kewajiban orang tua menyediakan bi’ah atau lingkungan yang sehat bagi pertumbuhan anak. Dan jangan pernah berlepas tangan begitu merasa lingkungan sudah baik. Sebab kita hidup di dunia yang hal-hal negatif banyak sekali bentuknya, dari itulah ayah bunda perlu terus mendampingi anak untuk memahami tipu daya kejahatan dan memelihara diri dari pengaruh buruknya. 

Sebesar apapun kesalahan seorang anak, tetap saja orang tua yang diminta pertanggungjawabannya. Anak adalah amanah dari Allah Swt dan kelak di mahkamah akhirat Tuhan akan menangih tanggung jawab terhadap Ayah Bunda. 

Tarbiyah atau pendidikan anak menjadi prioritas utama, yang hendaknya sudah menjadi bekal setiap pribadi muslim jauh-jauh hari sebelum memiliki anak. Jangan sampai baru belajar parenting Islami justru setelah punya anak.

Ada yang lebih rumit lagi, belajar cara mendidik dengan mengandalkan rumus belajar dari kesalahan. Begitu anak sudah menjadi pelaku kriminalitas, akan menjadi lebih berat bebannya dalam mendidik, meski tidak juga mustahil, ya!

Secara normal boleh dikatakan, tidak ada keinginan orang tua yang langsung mencetak putra-putrinya menjadi pelaku kejahatan, tetapi secara tidak langsung potensi itu bisa saja terjadi.

Setiap anak memang terlahir dalam fitrah suci, dan orang tua yang normal tidak ingin anak meraka menjadi penjahat. Akan tetapi, abainya peran orang tua merupakan andil yang secara tidak langsung membuat anak-anak tercinta terjerumus dalam kejahatan.




Menyambungkan Jiwa dengan Al-Qur’an

Sebelumnya

Sempurnakan Salatmu Agar Terhindar dari Perbuatan Keji dan Mungkar

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Tadabbur