Ilustrasi/Net
Ilustrasi/Net
KOMENTAR

KELELAHAN mental sangat rentan menimpa perempuan. Tapi kalau piawai menjaga stamina jiwa dengan berbagai investasi berharga, niscaya kaum hawa akan menjadi sumber kekuatan bagi lingkungannya.

Kelelahan batin atau mental fatigue bisa dialami siapa saja, terutama orang yang terus-menerus tertekan dalam kondisi tidak mengenakkan. Suami akan mengalami kelelahan mental ketika kerja kerasnya tak kunjung memperbaiki kondisi ekonomi keluarga. Istri akan tekanan batin jika keuangan yang semakin terbatas membuatnya berpikir keras menyelaraskan dengan kebutuhan yang terus meningkat. 

Jangan pula dilupakan, anak-anak akan mengalami kemerosotan batin bila terus berada dalam keuangan terbatas dan tak mampu meraih apa yang diimpikannya. Ini baru masalah keuangan, sementara dalam hidup ini masalahnya bukan uang saja. 

Perempuan memiliki bobot yang lebih besar untuk mengalami mental fatigue. Ketika suami mengalami kelelahan batin selama mencari nafkah, maka tekanan lahir batin istri jauh lebih berat, karena harus membuat dana secuil itu cukup untuk berbagai kebutuhan. Seringkali istri mengorbankan kebutuhan dirinya dan merelakan kenyamanan jiwanya demi keluarga.

Acap kali seorang ayah menyerahkan pengasuhan anak secara total kepada ibu dengan alasan capek. Kondisi mental fatigue menjadi alasan sang ayah berlepas tangan. Tapi bagi seorang ibu, selelah mental maupun fisiknya, tetap menerima kerewelan anak walaupun itu membuat ibu mengalami mental fatigue yang semakin parah.

Lalu, di manakah posisi kaum hawa jika diri dan lingkungannya mengalami mental fatigue? Semoga kisah berikut ini bisa menjadi pelajaran berharga.

Rasulullah pun mengalami kelelahan mental, karena waktu itu segunung masalah menimpa benaknya secara bersamaan. Beliau lelah melihat ngototnya para sahabat yang menolak cukur rambut dan menyembelih hewan kurban. Padahal, yang demikian itu merupakan bagian dari aturan syari'at Islam guna menuntaskan ibadah. 

Saat itu, Nabi Muhammad menyepakati perjanjian Hudaibiyah dengan pihak Quraisy, sementara para sahabat inginnya berperang saja. Rasulullah sudah lelah menghadapi kesumat musyrikin Quraisy di meja perundingan sekaligus lelah pula melihat penolakan sahabatnya.

Namun Nabi Muhammad memilih perdamaian dalam perjanjian Hudaibiyah sebagai langkah aman ketika barisan muslimin sebetulnya belum benar-benar siap untuk opsi peperangan. 

Sementara itu, para sahabatnya juga lelah puluhan tahun terus disiksa kafir Quraisy. Mereka ingin masalah cepat selesai dan tidak lagi sabar dengan perjanjian damai serta ingin menuntaskan dengan perang saja. Barangkali, rasa kecewa yang berpadu dengan kondisi mental fatigue membuat para sahabat terkesan enggan menaati perintah Rasul.

Terus terang, Nabi Muhammad --yang benar-benar teramat lelah-- kesal dengan ulah para sahabatnya. Beliau pun masuk kemah dan mencurahkan sesak hatinya kepada sang istri, Ummu Salamah. Wanita yang sudah tua itu ternyata sangat matang jiwanya. Walaupun orang-orang di sekitarnya tengah dilanda mental fatigue, perempuan itu tetap berpikiran jernih. 

Ummu Salamah pun memahami kelelahan batin suami dan rekan-rekannya sebagai sesuatu yang lumrah dan manusiawi. Sekalipun Ummu Salamah juga mengalaminya, tetapi mampu memposisikan diri sebagai kekuatan penyeimbang. 

Pada kondisi rawan itulah, Ummu Salamah tampil memberi energi positif. Dia melembutkan hati suami dan menyuntikkan optimisme, bahwa masih ada harapan di tengah kondisi kesehatan mental para sahabat. Mereka bukan sedang membangkang, melainkan beban teramat berat.

Ummu Salamah menyarankan, “Wahai Nabi Allah, sebaiknya engkau keluar sendirian tanpa perlu bicara sepatah katapun pada mereka. Engkau sembelih sendiri hewan kurbanmu, lalu panggillah seseorang untuk mencukur rambutmu.” (Abdul Halim Abu Syuqqah dalam buku Kebebasan Wanita Volume 1 (1997: 233))

Nabi menuruti saran istrinya. Tanpa bicara sepatah kata pun, beliau menyembelih hewan kurban dan mencukur rambut. Para sahabat tersentak melihat tindak tanduk panutannya, dan mereka pun serempak mengikuti. 

Masalah selesai tanpa insiden buruk. Padahal secara kejiwaan, Ummu Salamah juga lelah dengan kelicikan kafir Quraisy yang menghadang perjalanan kaum muslimin, hingga mereka batal berhaji. Namun, sejarah mencatat betapa kebijaksanaan seorang perempuan tua mampu meredam gejolak dari orang-orang di sekitarnya.

Kaum hawa jangan gampang terpuruk ketika diri, keluarga atau lingkungannya mengalami kemerosotan mental. Bekali diri dengan menanamkan sejumlah investasi, di antaranya:

  1. Investasi spiritual

Agama itu adalah obat jiwa dan energi batin. Kalau sedang dilanda kekusutan pikiran atau kemerosotan jiwa, jangan pernah larut di kegelapan menyesatkan. Alihkan kelelahan batin dengan kegiatan positif yang mendekatkan jiwa pada Maha Kuasa, misalnya banyak-banyak berzikir, sering-sering istigfar dan sebagainya. 

Kalimah thayyibah sangat berguna menyegarkan jiwa dari pekatnya polusi masalah, juga meredam mental fatigue agar tidak berimbas pada hal-hal negatif. Jangan sampai mudah lepas kendali. 

Surah ar-Ra'd ayat 28, yang artinya: "(yaitu) Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram."

Dengan berzikir, kita senantiasa mengingat Allah Swt, sumber kekuatan dahsyat. 

  1. Investasi emosi

Kematangan emosi dibangun dengan kehangatan hubungan suami istri dan keluarga. Hanya dengan emosi bagus, orang mampu bangkit meraih yang terbaik.

Investasi emosi ini tidak bisa instan, mesti dibangun terus dengan sambung rasa, perhatian, dan kebersamaan. Tidak perlu merasa agung hingga lepas kendali saat mendapat kesulitan ekonomi, dan krisis lainnya.

Rasulullah saja pernah kelaparan, pernah akan dibunuh, pernah diasingkan, tapi manusia agung itu tak pernah kehilangan senyuman. Emosi mereka telah mencapai level mengagumkan.




Hubbu Syahwat

Sebelumnya

Bukankah Aku Ini Tuhanmu?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Tadabbur