Ilustrasi/Net
Ilustrasi/Net
KOMENTAR

TANPA asuransi bagaikan hidup bukan di zaman modern, begitu keluh seorang istri kepada suamina. Si suami pun manggut-manggut, namun titik terang di antara keduanya belum mencapai kata sepakat. Sang istri tetap menginginkan perlindungan asuransi demi kenyamanan keluarga.

Bukannya tidak memahami niat tulus si istri, akan tetapi suami tersebut masih risau dengan hukum asuransi. Dia juga mendengar keluhan rekan-rekannya yang merasa dikerjai oleh pihak asuransi nakal, sehingga sang suami mengharapkan adanya asuransi yang selaras dengan syariat Islam, yang betul-betul melindungi.

Memang banyak manfaat yang dikandung oleh asuransi, tetapi kemudaratannya juga ada, yang tidak jarang merugikan berbagai pihak. Wajar muncul berbagai pro kontra yang cukup sengit terkait hukum asuransi.

Namun seiring itu pula, kaum muslimin mengharapkan ketegasan terkait asuransi halal yang aman dan nyaman. Dan ternyata, asuransi syariah adalah yang diyakini oleh kalangan ulama sebagai asuransi yang sejiwa dengan ruh ajaran Islam.

Muhammad Amin Suma, dkk dalam Asuransi Syariah di Indonesia Telaah Teologis (2021:127-128) menerangkan: Hampir seluruh atau minimal ulama (jumhur al-‘ulama) di dunia telah bersepakat untuk membolehkan hukum berasuransi secara syariah.

Tidak ada perbedaan di kalangan ulama tentang hukum pembolehan asuransi yang berbentuk saling menolong (al-ta'min al-ta'awuni), sebagaimana dianjurkan Al-Qur'an dalam penggalan ayat “wa-ta'awanu 'ala al-birri wa al-taqwa” dan “wa-la ta'awanu 'ala al-itsmi wa-al-'udwan” dalam surat Al-Maidah ayat 2.

Dasar utama yang dijadikan rujukan oleh para ulama terkait asuransi ialah surat Al-Maidah ayat 2, yang artinya, “Tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan.”

Dengan demikian, wajarlah Islam sangat ketat membuat aturan bahwa asuransi mestilah berlandaskan tolong-menolong, bukannya hasrat terselubung mencari keuntungan bisnis semata, tapi malah merugikan pihak konsumen.

Lebih jelasnya Muhammad Amin Suma (2021: 127-128) menerangkan: Pembolehan hukum asuransi sosial yang bercirikan tolong-menolong (al-ta'min al- ta'awuni) yang sangat qur’ani ini, telah disepakati oleh ulama Islam ('ulama al-muslimin) dalam kesempatan Muktamar ke-2 (1965 M/1385 H), dan Muktamar Ulama Muslimin ke-7 (1972/1392 H).

Asuransi ta’awuni dimaksudkan sebagai pengganti bagi asuransi konvensional-murni bisnis yang diharamkan (al-ta'min al-tijari), dan pada muktamar Majma' al-Fiqhi al- Islami (pada kesempatan daurah pertamanya di tahun 1398 H/1978 M) yang diselenggarakan di Negara Kerajaan Saudi Arabia yang juga membolehkan ta'min ta'awuni sebagai pengganti bagi asuransi konvensional yang diharamkan (al-ta'min al-tijari al-muharram).

Kesepakatan hukum pembolehan asuransi tolong-menolong (ta'min ta'awuni) paling sedikit bertumpu pada tiga macam alasan (dalil), yaitu:

  1. Ta'min ta'awuni adalah merupakan bagian dari akad-akad tabarru’ yang dengannya bisa dicapai kesinambungan tolong-menolong secara timbal-balik untuk meniadakan atau minimal berbagi risiko tatkala terjadi bencana. Dengan cara demikian, maka keanggotaan kumpulan peserta asuransi tolong-menolong bukan dipacu oleh semangat perdagangan dan perlombaan mencari keuntungan semata, melainkan lebih bermaksud untuk saling berbagi risiko dan semata tolong-menolong dalam mengatasi bencana dimaksud.
  2. Ta’min ta'awuni bisa terbebas dari praktik-praktik ribawi, baik itu riba al-fadhl dan lebih-lebih riba nasi'ah. Intinya, asuransi tolong-menolong lebih bisa mengarahkan para pemegang polis dari kemungkinan terlibat dengan praktik-praktik nyata perekonomian ribawi.
  3. Ta'min ta'awuni juga terbebas dari kemungkinan praktik perjudian/spekulasi (muqamarah), penipuan (gharar), dan pembodohan (juhalah) bagi para peserta asuransi itu sendiri. Sementara pada saat yang bersamaan justru mendorong para pemodal untuk mengembalikan (sebagian) manfaat atau benefit yang diperolehnya kepada para peserta asuransi itu sendiri.

Dengan kesepakatan itu, diharapkan umat Islam di Indonesia tidak lagi merasa ragu atau meragukan hukum kebolehan berasuransi yang berbasis tolong-menolong (jawaz al-ta'min al-ta'awuni).




Inilah Puasa yang Pahalanya Setara Berpuasa Setahun

Sebelumnya

Saat Itikaf Dilarang Bercampur Suami Istri, Maksudnya Apa?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Fikih