KOMENTAR

GADIS manis itu tersenyum-senyum pahit. Kini semua pandangan mata tertuju padanya. Dosen membuka tema perdebatan terkait keputusan gadis tersebut yang pergi berkuliah sangat jauh. Kampungnya berjarak nyaris 100 km ke ibu kota provinsi tempatnya menuntut ilmu. Lantas di mana masalahnya?

Tak lupa sang profesor mengemukakan sepotong hadis Nabi saw. yang terang-terangan menyebut, terlarangnya bepergian jauh kecuali didampingi mahram. Nah!

Tentu saja gadis itu menolak keras larangan tersebut, sebab dirinya merasa punya hak mendalami ilmu agama, terlebih dirinya merasa cukup dewasa menentukan hidupnya.

Perdebatan antara kubu pro kontra terkait hukum bepergian sendirian bagi perempuan semakin sengit, yang tak terlepas dari kepiawaian sang profesor dalam menghangatkan diskusi.

Saat suhu diskusi makin memanas, tiba-tiba seorang pemuda mengajukan jalan tengah, “Bagaimana jika kita carikan saja mahramnya!”

Suara tawa membahana terdengar, yang mana tujuan usulannya itu adalah mencarikan suami bagi si gadis lajang. Tampaknya, ada maksud terselubung dari usulan semacam itu, terlebih dari seorang pemuda yang selama ini cermat memperhatikannya.

Namun, yang menjadi fokus pembahasan kita adalah larangan bepergian tanpa mahram bagi perempuan yang diutarakan hadis Nabi, bagaimanakah kedudukannya dalam hukum Islam?

Fahad Salim Bahammam dalam bukunya Fiqih Modern Praktis (2013: 321-322) memerinci penjelasannya:

  1. Hukum asal menyatakan, seorang perempuan haram melakukan safar (bepergian) tanpa mahram.
  2. Boleh bagi perempuan melakukan safar tanpa mahram jika ada keadaan darurat.
  3. Hukum safar yang dilakukan oleh seorang perempuan tanpa mahram dengan menggunakan sarana transportasi cepat dan aman, seperti pesawat, adalah hal yang diperselisihkan oleh para ulama. Jika ia melakukannya karena adanya hajat, hendaknya hajat itu disikapi secara proporsional.
  4. Safar yang dilakukan oleh seseorang tanpa mahram, namun bersama kelompok yang tepercaya adalah lebih aman daripada safar yang ia lakukan sendiri.
  5. Tidak boleh bagi seorang perempuan melakukan safar tapa mahram jika ada kekhawatiran akan fitnah yang akan menimpanya, khususnya safar yang dilakukannya ke negeri kafir.

Keterangan ini sebetulnya sudah dapat menyudahi pro kontra terkait perempuan bepergian tanpa mahram. Namun, perlu juga diketahui seperti apa sih hadis Nabi saw. yang menimbulkan perdebatan ini?

M. Hamdan Rasyid dalam buku Panduan Muslim Sehari-hari (2016: 564) menjelaskan:

Hal ini didasarkan pada hadis-hadis Nabi saw. berikut ini:

Tidak halal bagi seorang wanita bepergian (safar) dalam waktu satu hari satu malam, kecuali disertai mahramnya.” (HR. Ahmad, Al-Bukhari, dan Muslim)

Tidak boleh seorang wanita bepergian (safar) dalam waktu tiga hari, kecuali disertai mahramnya.” (HR. Ahmad, Al-Bukhari, dan Muslim)

Tidaklah halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir bepergian (musafir) selama tiga hari atau lebih, kecuali disertai ayah, atau anak laki-lakinya, atau suaminya atau saudara laki-laki, atau orang yang menjadi mahramnya.” (HR. Muslim)

Hadis merupakan salah satu sumber hukum Islam, fikih tidak akan pernah terlepas dari dinamisnya kajian hadis. Dan yang terpenting, hadis bukanlah sekadar rangkaian kata per kata, melainkan memerlukan pemaknaan terhadap apa yang tersirat padanya. 

Akan berisiko besar jika memutuskan suatu hukum hanya dengan melihat pada kalimat yang terhampar. Karena bisa-bisa orang akan terjebak dalam pola pikir picik, sehingga buntutnya melarang perempuan keluar rumah, yang ujungnya menghambat perkembangan muslimah.

Masrukhin Muhsin dalam buku Studi Kritik Matan Hadis (2017: 157) menguraikan:

Alasan di balik larangan ini adalah kekhawatiran akan keselamatan perempuan yang bepergian tanpa diserta suami atau mahram. Ketika itu, sarana transportasi adalah unta. Mereka biasanya menempuh padang pasir dan daerah-daerah yang sepi dan tidak berpenghuni.

Jika dalam kondisi perjalanan seperti itu, seorang perempuan rentan akan bahaya, harga dirinya akan tercemar. Akan tetapi, apabila kondisinya telah berubah, seperti pada masa sekarang, ketika perjalanan jauh ditempuh dengan pesawat yang dapat mengangkut ratusan penumpang, dan tidak ada lagi alasan untuk mengkhawatirkan keselamatan seorang perempuan yang bepergian sendiri, secara syar'i hal itu tidak menjadi masalah dan tidak dianggap menyalahi hadis, bahkan hal itu diperkuat oleh hadis al-Bukhari:

Akan tiba masanya, ketika seorang perempuan penunggang unta pergi dari Hirah menuju Baitullah tanpa disertai suami.” (HR. Bukhari)

Hadis ini disampaikan Nabi saw. berkaitan dengan pujian atas kejayaan Islam dan panjinya yang berkibar di segenap penjuru dunia serta tersebarnya keamanan di seluruh negeri.

Hadis ini juga menunjukkan kebolehan perempuan bepergian tanpa mahram. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan sebagian ulama membolehkan perempuan berhaji tanpa mahram atau suami, dengan syarat ia pergi bersama sejumlah perempuan yang terpercaya atau bersama rombongan yang aman. Inilah yang dilakukan oleh Aisyah dan istri-istri Nabi saw. ketika disertai mahram. Mereka pergi bersama Usman bin Affan dan Abdul al-Rahman bin Auf.

Hendaknya kajian fikih tentang tema ini makin melegakan hati kaum muslimah, sebab tidak ada sedikit pun ajaran suci agama Islam yang mengekang perempuan, malahan menjadikan kaum hawa dalam perlindungan suci.    




Inilah Puasa yang Pahalanya Setara Berpuasa Setahun

Sebelumnya

Saat Itikaf Dilarang Bercampur Suami Istri, Maksudnya Apa?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Fikih