KOMENTAR

PUASA asyura merupakan puasa di hari ke-10 di bulan Muharram. Di masa jahiliyyah, puasa ini dilakukan bertepatan dengan penutupan Ka’bah untuk penggantian kiswah (kain penutup Ka’bah).

Rasulullah dan para sahabat, telah berpuasa asyura jauh sebelum puasa Ramadhan ditetapkan. Sedari di Mekkah, beliau sudah melakukannya.

Perintah puasa Ramadhan turun di tahun 2H. Jika merujuk tahun ini, maka kira-kira, beliau sudah melakukan puasa asyura selama 13 tahun di Mekkah dan 1 tahun di Madinah.

Sementara puasa Ramadhan hanya dilakukan sebanyak 9 tahun (9 kali), karena di tahun 11 H beliau sudah meninggal. Artinya, Rasulullah lebih banyak melakukan puasa asyura ketimbang puasa Ramadhan.

Sampai kemudian datang perintah puasa Ramadhan, dan Rasulullah pun membebaskan umatnya untuk memilih antara berpuasa asyura ataupun tidak berpuasa.

“Siapa yang berkehendak puasa (asyura), maka tunaikan puasa itu dan siapa yang berkehendak meninggalkannya maka tinggalkanlah.” HR. Bukhari, Muslim dan Ahmad

Pada perjalanannya, Rasulullah kembali memerintahkan umatnya untuk berpuasa asyura. Hal ini terjadi ketika beliau melihat kaum Yahudi di Madinah melakukan puasa asyura.

Saat beliau bertanya perihal puasa asyura yang dilakukan, mereka mengatakan 10 Muharram adalah hari baik, hari di mana Allah menyelamatkan bani Israil dari musuh mereka yaitu Fira’un.

Sebagai rasa syukur, menurut mereka, Nabi Musa as. selalu melakukan puasa di hari tersebut. Mendengar jawaban mereka, Rasulullah bersabda, “Aku lebih berhak mengikuti Musa daripada kalian.” HR. Bukhari dan Ahmad.

Sejak itu, beliau memerintahkan umatnya untuk kembali menunaikannya. Seorang sahabat sampai diutus Rasulullah untuk mengumumkan perintah puasa asyura kepada kaum muslimin di perkampungan-perkampungan anshar.

Ketika itu, hari sudah pagi. Sebagian kaum muslimin sedang sarapan. Menyampaikan pengumuman dari Rasulullah, si utusan berkata, “Barangsiapa yang sudah terlanjur makan maka sempurnakan atau tunaikan puasa, dan barangsiapa yang belum makan maka janganlah makan.” HR. Bukhari

Setelah mendengar pengumuman tersebut, kaum muslimin yang sedang sarapan, lekas merampungkannya, lalu berpuasa. Sementara yang belum makan, mereka langsung berpuasa.

Tidak hanya berpuasa sampai azan magrib tiba, menurut hadis yang dibawa oleh Arruba’i binti Mu’awadz dan diriwayatkan Bukhari, mereka juga mengajarkan anak-anak mereka untuk berpuasa asyura.

Bahkan demi membujuk anak-anak mereka agar bisa menunaikan puasa sampai magrib, mereka membuat mainan dari kapas.

Jika ada di antara anak-anak mereka menangis, mereka memberikan mainan kapas untuk menghentikan tangisannya sampai datang waktu berbuka.  

Cara Rasulullah Berpuasa

Mengenai cara Rasulullah berpuasa asyura banyak dikisahkan sahabat Ibnu Abbas. Bernama lengkap Abdullah ibnu Abbas, sahabat Rasulullah yang berusia 9 tahun ketika Rasulullah wafat ini, merupakan pakar ilmu tafsir.

Menurut Ibnu Abbas, Rasulullah memiliki 2 cara dalam berpuasa asyura. Cara pertama, beliau berpuasa di hari kesembilan Muharram.

Ibnu Abbas mendengar langsung Rasulullah mengatakan cara ini, “Bila aku masih hidup di tahun depan, benar-benar aku akan berpuasa di hari kesembilan.” HR. Muslim dan Ahmad.

Kendati di tahun kemudian, Rasulullah meninggal sehingga beliau tidak sempat melakukan puasa di hari kesembilan Muharram, namun hal ini telah menjadi cara yang telah disetujui beliau.

Ibnu Abbas dalam kesempatan lain juga menegaskan cara pertama ini. Kepada Hakam bin A’roj yang menghampirinya saat sedang tiduran berbantal sorban di dekat sumur zam-zam, ia menjelaskan cara Rasulullah berpuasa asyura.

“Jika engkau melihat hilal bulan Muharram maka hitunglah dan beradalah dalam kondisi berpuasa di hari ke-9.” HR. Muslim dan Abu Daud

Cara kedua, menurut Ibnu Abbas, adalah berpuasa di tanggal 10 namun menggandengnya dengan hari kesembilan (9-10 Muharram) atau hari kesebelas (10-11 Muharram) agar tidak menyerupai kaum Yahudi yang berpuasa asyura di tanggal 10.

“Berpuasalah pada hari asyura dan berbedalah dengan orang Yahudi. Berpuasalah sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya.” HR. Ahmad dan Ibnu Khuzaimah   




Hubbu Syahwat

Sebelumnya

Bukankah Aku Ini Tuhanmu?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Tadabbur