Ilustrasi/ Net
Ilustrasi/ Net
KOMENTAR

KABAR membahagiakan bagi umat muslim di penjuru dunia, kini makin banyak komunitas berhijab; yang bukan hanya cantik-cantik dan modis-modis, tetapi mereka juga salehah. Insyaallah! Semangat kaum muslimah berhimpun dalam berbagai hijabers community ini demikian bergelora, tidak bermaksud hanya memperluas pergaulan, melainkan hendak menjadi bagian dari jamaah ke surga. Subhanallah!

Tak jarang ada anggota komunitas hijabers yang mengusung semboyan, “Panggilah aku, kelak bila kau tak melihatku di jannah!”

Beginilah harapan yang disuarakan dalam komunitas hijabers terlebih kalau bikin caption foto bareng-bareng.    

Sepintas tidak ada yang perlu dipertanyakan, toh semua baik-baik saja dan cantik-cantik pula, dan hijabers ini dalam membangun komunitasnya tidak pula membuat huru-hara. Mereka malah rajin menggelar kegiatan positif; bakti sosial, olahraga bersama, santunan fakir miskin, muslimah fashion show, pelatihan kecantikan dan lain-lain.

Lantas dimana salahnya?

Ya, tidak ada yang salah, selama berada di rel kebenaran.

Hanya saja, kemudian muncul pula pertanyaan, apakah semboyan, “Panggilah aku, kelak bila kau tak melihatku di jannah!” itu suatu yang berlebihan? Atau malah sesuatu yang tidak pada tempatnya?

Apakah kita bisa memanggil sahabat masuk surga? Memangnya kita siapa?

Begini!

Apabila kalau yang dimaksud ialah sudah sama-sama berada di surga (berkat amalan baik masing-masing), lalu mereka pun saling panggil-memanggil. Ini tidak ada yang keliru.

Dan makin benar bila semboyan itu dimaksudkan sebagai motivasi, saling menyemangati agar istikamah dalam keimanan, dan berlomba-lomba dalam kebaikan supaya kelak sama-sama masuk surga.

Kalau sekadar memanggil sahabat dari surga, tampaknya bisa saja terjadi, toh orang-orang di surga juga bercakap-cakap bukannya membisu. Jadi, ini kalau sekadar memanggil ya!

Namun, lain cerita ketika “memanggil” itu dimaknai sebagai kemampuan sahabat mengundang apalagi menjamin kita masuk surga, nah itu jadi seru pembahasannya.

Agama Islam mengenal syafaat, suatu pertolongan istimewa yang dapat diberikan, terkhusus di negeri akhirat nanti. Tetapi, mungkinkah kita termasuk yang potensial menerima syafaat atau bahkan memberikannya pada yang lain?

Yusuf Al-Qaradhawi dalam buku Akhlak Islam (2017: 537) menerangkan, di antara anugerah yang Allah berikan kepada orang-orang mukmin adalah kesempatan bagi orang-orang mukmin untuk memberi syafaat (pertolongan) kepada saudara-saudara mereka yang berkekurangan pada hal tertentu, sehingga kemudian Allah mengampuni mereka (orang yang ditolong atau disyafaat) atas sebagian dari dosa-dosa mereka, serta menghapuskan berbagai kesalahan sekehendak-Nya. Karena orang-orang mukmin laki-laki dan orang-orang mukminah perempuan menjadi pelindung antar sesama mereka.

Ada sebagian mufasir yang menyatakan bahwa maksud firman Allah, yang artinya, “Dan Dia memperkenankan (doa) orang-orang yang beriman serta mengerjakan amal saleh dan menambah (pahala) kepada mereka dari karunia-Nya.” (Asy-Syura ayat 26) adalah bahwa anugerah tambahan itu berupa kesempatan bagi mereka untuk memberi syafaat kepada saudara-saudara mereka.

Betapa dahsyatnya peluang yang dibentangkan oleh agama, betapa hebatnya makna keimanan yang dapat memberikan syafaat (pertolongan). Namun, kita perlu menggali lebih dalam lagi agar tidak terlanjur tenggelam dalam euforia.   

Yusuf Al-Qaradhawi dalam buku Fatwa-Fatwa Kontemporer 3 (1995: 322-323) menguraikan, tidak mustahil jika Allah memberikan karunia-Nya kepada hamba-hamba pilihan-Nya dengan memberikan hak syafaat kepada mereka untuk diberikan kepada orang-orang yang telah mati dalam keadaan beriman.

Dalam hal ini banyak kita temukan hadis-hadis Nabi saw. yang menerangkan tentang keberadaannya, di antaranya, “Akan masuk surga karena syafaat seseorang dari umatku, (yang mana) jumlah mereka lebih banyak dari Bani Tamim.”

Syafaat yang dinafikan adalah syafaat yang semata-mata diberikan oleh selain Allah yang merupakan kepercayaan orang-orang Arab musyrik dan pemeluk agama-agama lain selain Islam.

Kutipan di atas jelas-jelas menegaskan syafaat atau pertolongan itu juga bisa diberikan oleh manusia biasa, dengan syarat dan ketentuan tertentu. Di antaranya yang terpenting syafaat itu hanya dari dan untuk orang-orang beriman, dan tidak berlaku bagi mereka yang kafir apalagi musyrik. Dengan demikian peluang kita semua sesungguhnya terbuka lebar.

Lebih jelasnya lagi, Syekh M. Hisyam Kabbani dalam buku Syafaat, Tawasul, dan Tabaruk (2007: 288-289) menerangkan, ada beberapa simpul penting berkenaan dengan syafaat yang dapat kita tarik dari ayat-ayat Al-Qur’an, di antaranya:

1.    Syafaat tidak berlaku bagi orang-orang kafir.
2.    Syafaat ditetapkan secara mutlak sebagai milik Allah.
3.    Syafaat diperbolehkan secara umum bagi selain Allah sesuai dengan izin dan rida-Nya.
4.    Al-Qur'an menjelaskan bahwa syafaat secara khusus diizinkan bagi para malaikat atas orang-orang yang diredai Allah.
5.    Syafaat secara tegas dinisbahkan kepada Nabi saw. pada masa hidupnya.
6.    Syafaat disebutkan merujuk kepada Nabi saw. di akhirat.
7.    Syafaat dapat diberikan oleh para nabi dan kaum beriman secara umum di akhirat.

Allah memberi izin kepada orang-orang tertentu untuk memberikan syafaat. Dengan demikian, makna “syafaat hanya kepunyaan Allah” adalah bahwa syafaat sebenarnya dapat diberikan oleh selain Allah, namun hanya oleh orang-orang yang diizinkan oleh Allah, sebagaimana firman-Nya, “Siapakah yang dapat memberi syafaat di sisi Allah tanpa izin-Nya?” (terjemahan Qs. al-Baqarah ayat 255)




Hubbu Syahwat

Sebelumnya

Bukankah Aku Ini Tuhanmu?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Tadabbur