Ilustrasi ibu dan anak. (Freepik)
Ilustrasi ibu dan anak. (Freepik)
KOMENTAR

KOMISI Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengungkap fakta yang membuat hati teriris: mayoritas pelaku filisida—pembunuhan anak oleh orang tua—di Indonesia justru dilakukan oleh ibu kandung sendiri.

Anggota KPAI Diyah Puspitarini, dikutip dari kantor berita ANTARA, menyebut fenomena ini sebagai “filisida maternal”, yang kerap dipicu oleh tekanan berat dalam kehidupan keluarga, salah satunya masalah ekonomi.

“Ini sebuah keprihatinan besar. Kami berharap kejadian seperti ini tidak berulang, dan masyarakat bisa melakukan langkah pencegahan, terutama bila akar masalahnya ekonomi,” kata Diyah di Jakarta (8/9).

Kasus terbaru terjadi di Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Seorang ibu berinisial EN (34) ditemukan meninggal dengan cara gantung diri, sementara dua anaknya yang berusia 9 tahun dan 11 bulan diduga diracun. Polisi juga menemukan surat wasiat yang berisi curahan penderitaan dan kekecewaan sang ibu terhadap pasangannya.

Kejadian serupa sebelumnya juga mengguncang Batang, Jawa Tengah. Pada Agustus 2025, seorang ibu berinisial VM (31) membawa dua anak perempuannya ke laut hingga tenggelam. VM yang selamat justru ditemukan bersembunyi dalam kondisi linglung.

Tragedi-tragedi ini bukan sekadar kisah kriminal. Inilah jeritan sunyi dari seorang ibu yang terjebak dalam himpitan depresi, kekerasan, dan kesulitan hidup.

Akar Masalah yang Perlu Ditangani

Menurut World Health Organization (WHO), depresi perinatal—depresi yang dialami ibu selama kehamilan atau setelah melahirkan—dialami sekitar 1 dari 6 perempuan di seluruh dunia. Tanpa dukungan memadai, depresi ini bisa berkembang menjadi kondisi mental yang lebih serius dan memicu perilaku ekstrem.

Di Indonesia, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan sekitar 6% penduduk mengalami gangguan mental emosional. Angka ini bisa jadi lebih tinggi di kalangan perempuan yang menghadapi beban ganda: mengurus rumah tangga sekaligus tekanan ekonomi.

Saatnya Masyarakat Bergerak

Kasus filisida maternal mestinya jadi alarm keras bagi kita semua, terutama perempuan. Tidak ada ibu yang terlahir ingin menyakiti anaknya, tapi keputusasaan bisa merenggut nalar sehat bila tak ada dukungan dari keluarga, masyarakat, bahkan negara.

Perempuan perlu ruang aman untuk bercerita tanpa stigma. Dukungan pasangan, akses konseling psikologis yang terjangkau, hingga kebijakan pemerintah yang memperkuat perlindungan sosial—semua ini adalah ikhtiar bersama untuk mencegah tragedi berulang.

Karena sejatinya, ketika seorang ibu runtuh, maka anak-anak pun ikut terseret dalam jurang luka yang sama.

 




Halte Senen Sentral Resmi Berubah Nama Jadi Halte Jaga Jakarta

Sebelumnya

DPR Dorong 3 Lembaga Penyiaran Milik Pemerintah Jadi Media Kelas Dunia yang Mengutamakan Kepentingan Publik

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel News