Sejumlah anak melakukan pawai obor dan takbir keliling dalam rangka merayakan Maulid Nabi, beberapa tahun lalu/ Net
Sejumlah anak melakukan pawai obor dan takbir keliling dalam rangka merayakan Maulid Nabi, beberapa tahun lalu/ Net
KOMENTAR

MENYANDINGKAN kata ‘kontroversi’ dengan ‘Maulid Nabi’ saja sudah cukup membuat orang mengernyitkan dahi. Karena, Maulid Nabi adalah sesuatu yang agung, lantas kontrovesi macam apakah yang mungkin menyelimutinya? Apakah itu maksudnya terkait dengan heboh-heboh ditundanya libur Maulid Nabi?

Begini.

Syahdan di sebuah pesantren yang belum lama berdiri, masyarakat sekitar ramai-ramai mendatangi ustaznya. Mereka memprotes kenapa Mualid Nabi tak kunjung diselenggarakan di pesantren itu. Namun, sang ustaz juga punya alasan kuat, dimana Maulid Nabi tidaklah wajib.

Masyarakat tetap mendesak, karena merasa ada yang kurang sempurna dalam keislaman mereka kalau Maulid Nabi tidak diadakan. Akhirnya, daripada memperpanjang polemik, maka pesantren baru itu pun menggelar acara Maulid yang sederhana.

Sesungguhnya polemik seputar Maulid Nabi telah berlangsung berabad-abad lamanya. Pihak yang pro memandang Maulid sebagai kegiatan positif, dalam rangka memuliakan Nabi Muhammad. Pihak yang kontra bukannya tidak cinta dengan Rasulullah, melainkan mereka tidak menemukan dalil yang pasti adanya perintah agama melaksanakan Maulid itu.

Agar pembahasan ini makin jernih, ada baiknya sejarahnya Maulid Nabi yang cukup menarik juga dikupas.

Sebagaimana dikutip dari AM. Waskito dalam bukunya Pro dan Kontra Maulid Nabi diterangkan, setidaknya ada tiga teori tentang sejarah Maulid pertama kali diadakan oleh kalangan Dinasti Ubaid (Fathimi) di Mesir yang berhaluan Syiah Ismailiyah (Rafidhah). Mereka berkuasa di Mesir tahun 362-567 Hijriyah.

Kedua perayaan Maulid di kalangan Ahlussunnah pertama kali diadakan oleh Sultan Abu Said Muzahaffar Kukabri, di Irbil, Irak. Beliau hidup pada tahun 549-630 H.

Saat perayaan Maulid diadakan, Muzahaffar mengundang para ulama, ahli tasawuf, ahli ilmu, dan seluruh rakyatnya. Beliau menjamu mereka dengan hidangan makanan, memberikan hadiah, bersedekah kepada fakir miskin, dan lainnya.

Ketiga, perayaan Maulid pertama kali diadakan oleh Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi (567-622 H). Tujuan beliau untuk meningkatkan semangat jihad kaum muslimin dalam rangka menghadapi Perang Salib melawan kaum Salib Eropa dan merebut Yerusalem dari tangan kerajaan Salibis.

Singkat kata singkat cerita, kemudian Maulid Nabi pun menjadi bagian dari urf atau tradisi kaum muslimin. Selama berabad-abad pula Maulid Nabi telah dirayakan di berbagai pelosok negara, mulai dari kerajaan-kerajaan Islam hingga negara-negara sekuler. Ambil contoh, India yang merupakan sekuler, bahkan mayoritas penduduknya penganut Hindu, tetapi memberikan libur bagi perayaan Maulid Nabi.

Demikian mengakarnya perayaan Maulid Nabi selama berabad-abad, wajar pula kalau muncul perasaan yang bagaimana gitu jika liburnya ditunda apalagi sampai ditiadakan.

Namun, perlu diingat tidak ditemukan dalil apapun yang menyebutkan Maulid Nabi ini wajib. Jangankan wajib, satu perintah pun tidak ada dalam agama, baik dalam Al-Qur’an maupun hadis. Bahkan Nabi Muhammad beserta para sahabatnya pun tidak pernah merayakannya. Dengan demikian, tidak akan berdosa bagi mereka yang tidak mengadakan acara Maulid Nabi.

Lantas bagaimana dengan mereka yang merayakan Maulid Nabi?

Pihak-pihak yang kontra menyebut mereka yang merayakan Maulid Nabi telah mengadakan bid’ah (inovasi/membuat-buat ajaran baru) dalam beragama.

Ya, kalau memang Maulid itu "bid’ah", jangan dilupakan kalau "bid’ah" itu ada lho yang positif, "bid’ah hasanah".

Ya, tergantung bagaimana kita merayakannya.

Apabila perayaan Maulid itu kita isi dengan pengajian, bersedekah, jamuan makan, membaca Al-Qur’an, mendalami teladan nabi, maka jelas semua itu termasuk amalan-amalan yang terpuji dalam agama dan dijanjikan pahala yang besar.

Akan tetapi, bila perayaan Maulid Nabi itu kita isi dengan kemaksiatan, kedurhakaan, atau kejahatan atau berbagai perbuatan dosa, maka kita tahu sendiri dong apa hukumnya.

Tidak ada perintah dan tidak ada pula larangan Al-Qur’an maupun hadis terkait dengan Mualid Nabi. Maka perayaan ini tergolong boleh-boleh saja, asalkan tidak melanggar syariat agama, dan tentunya diisi dengan kegiatan positif.

AM. Waskito dalam buku Pro dan Kontra Maulid Nabi mengutip dari Tim Fatwa Majelis Tarjih Muhammadiyah, pada prinsipnya, Tim Fatwa belum pernah menemukan dalil tentang perintah menyelenggarakan peringatan Maulid Nabi, sementara itu belum pernah pula menemukan dalil yang melarang penyelenggarannya.

Oleh sebab itu, perkara ini termasuk dalam perkara ijtihadiyah dan tidak ada kewajiban sekaligus tidak ada larangan untuk melaksanakannya. Apabila di suatu masyarakat muslim memandang perlu menyelenggarakan peringatan Maulid Nabi tersebut, yang perlu diperhatikan adalah agar jangan sampai melakukan perbuatan yang dilarang, serta harus atas dasar kemaslahatan.

Islam ini agama yang indah, dan tidaklah agama yang kaku, melainkan menampung kreatifitas budaya penganutnya. Dari itu pula agama ini menyebar dengan cepat ke seluruh penjuru dunia, menembus berbagai macam budaya atau adat istiadat. Dengan demikian, hendaknya perayaan Maulid Nabi menciptakan keharmonisan dalam kehidupan umat seagama ini.

Sebelum ditutup, sepertinya ada yang kurang nih, bagaimana dengan libur Maulid yang ditunda, atas alasan bla bla bla...




Ana Khairun Minhu

Sebelumnya

Hubbu Syahwat

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Tadabbur