Ilustrasi/ Net
Ilustrasi/ Net
KOMENTAR

AKAN menarik jika kita merujuk kepada Cambridge Dictionary, konten yang berasal dari content bermakna, the subject or ideas contained in something written, said, created, or represented.

Jadi, cukup luas ya cakupan konten itu. Bukan hanya informasi yang ditebar pada media elektronik belaka, tetapi melingkupi segala macam ide yang ditebarkan kepada pergaulan sosial. Apapun itu!

Apabila berpegang pada definisi ini, konten-konten juga bertebaran di masa-masa kenabian, bahkan juga di masa Jahiliyah sekalipun. Karena manusia itu makhluk sosial, ya wajar dong bila doyan menyebarkan ide, informasi, pendapat, argumentasi atau yang lain sejenisnya, yang belakangan sering disebut dengan konten.  

Pada masa lalu, orang-orang Arab gurun biasa berkumpul bulan Zulhijjah menggelar kompetisi syair tahunan di Pasar Ukaz (Soq Okaz). Penyair yang menang memperoleh hadiah bahkan syair gubahannya akan digantung di dinding Ka’bah. Karena itulah, muncul nama mu’allaqât, artinya “yang digantungkan”.

Al-Mu’allaqât adalah nama yang diberikan kepada tujuh kumpulan puisi pra-Islam, yang dianggap terbaik. Sajak-sajak itu konon ditulis dengan tinta emas (al-muzhahhabât) di atas kain linen.

Sehingga Khalil Abdul Karim dalam buku Hegemoni Quraisy; Agama, Budaya, Kekuasaan menyebutkan, mungkin lebih tepat jika pasar Ukaz dikatakan sebagai pekan bahasa dan sastra yang resmi. Hal itu dikuatkan oleh pendapat Burhanuddin Dallau, “Pasar-pasar tersebut telah berperan dalam memunculkan pekan sastra dalam mempercepat proses ilmiah (objektif) untuk menatap keadaan sosial, ekonomi, dan budaya demi mencapai persatuan.”

Lalu apa saja konten yang para pujangga Ukaz itu hasilkan?

Ternyata dalam rangkaian kalimat yang teramat memukau itu, bermuatan kekesatriaan, keberanian, keagungan dari kehormatan diri, kesetiaan, kelembutan cinta, kehangatan persahabatan, semangat perjuangan dan hakikat kehidupan.

Begitulah mereka menyediakan kesempatan khusus dalam menciptakan, menyebarkan dan menghargai konten. Artinya, kita jangan sampai kalah sama masyarakat Arabia di masa itu ya! Ketika masyarakatnya hidup dalam keburukan Jahiliyah, ternyata lahir di antara mereka para penyebar konten yang menginspirasi.

Dari itulah, kita yang hidup di era medsos ini, jangan sampai malah lebih buruk dari masyarakat Jahiliyah. Jangan pula kita akhirnya malah disebut Jahiliyah modern gara-gara tidak berkualitas atau asal bunyi dalam menyebar konten di medsos.

Jangan ya!

Masalahnya bukan apa media sosial yang dipakai, melainkan konten apa yang kita tebarkan itu?

Ka’bah adalah rumah suci milik Tuhan. Namun, kesucian Ka’bah bukan berarti menjamin orang-orang di sana juga suci. Tidaklah demikian!

Pada masa Jahiliyah pula Ka’bah dinodai habis-habisan, ratusan berhala juga dipajang dan disembah di sana. Dan praktik kotor itu dapat dihentikan setelah Fathul Makkah.

Ada yang menarik juga dong!

Rupanya Ka’bah juga dijadikan media dalam  menyebarkan berbagai konten, yang sayangnya juga mengandung unsur-unsur negatif, hasutan, kejahatan dan lainnya.

Sejarah tidak akan pernah melupakan pemboikotan sosial ekonomi yang digalang musyrikin Quraisy. Tiga tahun lamanya Rasulullah bersama para pengikutnya tersingkir ke bebukitan berbatu di luar Mekkah dilanda kedinginan dan kelaparan, tetapi kenyang dengan penderitaan.

Mereka mendokumentasikan hal tersebut di atas sebuah shahifah (lembaran) yang berisi piagam perjanjian dan sumpah, bahwa mereka selamanya tidak akan menerima perdamaian dari Bani Hasyim dan tidak akan berbelas kasihan terhadap mereka kecuali bila mereka menyerahkan Nabi Muhammad untuk dibunuh.

Lembaran konten perjanjian boikot itu pun digantungkan di Ka’bah.

Di atas segala derita terhadap Rasulullah dan pengikutnya selama tiga tahun, konten buruk yang ditempelkan di Ka’bah berakhir dengan ajaib. Atas kehendak Allah rayap-rayap memakannya hingga lumat.

Ada yang jarang diketahui orang, siapa penulis konten shahifah atau piagam boikot itu. Syukurlah ini tercatat oleh Ibnu Hisyam dalam bukunya Sirah Nabawiyah, yang menyebutkan, penulis piagam itu adalah Manshur bin Ikrimah. Konon usai menuliskan perjanjian itu, tangannya lumpuh.

Jadi hati-hatilah membuat konten apapun. Konten positif akan mendapatkan ganjaran kebaikan. Adapun konten negatif, selain balasan di dunia, Tuhan pun bisa murka dan dapat saja memberi siksa yang berat, di dunia dan akhirat.

Selembar konten negatif yang berisi boikot itu ditempel di dinding Ka’bah. Nah, seperti yang diungkapkan terdahulu, maka tempat suci semacam Ka’bah tidak menjamin orang-orang penyebar konten di sana suci juga.

Kesucian Ka’bah tidak diragukan lagi. Akan tetapi ini pelajaran bagi kita agar berhati-hati dalam menyebar konten. Karena apapun yang kita tebar, jika itu negatif, dapat merugikan bahkan menghancurkan pihak lain.




Menyikapi Toxic People Sesuai Anjuran Al-Qur’an

Sebelumnya

Ketika Maksiat dan Dosa Menjauhkan Kita dari Qiyamul Lail

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Tadabbur