Presiden Joko Widodo tampil dengan busana Suku Baduy saat menyampaikan pidato di Sidang Tahunan MPR, Senin (16/08) lalu/ Net
Presiden Joko Widodo tampil dengan busana Suku Baduy saat menyampaikan pidato di Sidang Tahunan MPR, Senin (16/08) lalu/ Net
KOMENTAR

PRO kontra itu biasa saja di alam demokrasi ini. Pun termasuk pula ketika Presiden Jokowi mengenakan pakaian adat Baduy saat menyampaikan pidato di Sidang Tahunan MPR, Senin 16 Agustus lalu. Ada yang memuji, ada yang terkesima, tidak sedikit pula yang mengkritik. Biasalah ya!

Terlepas dari pro kontra itu, ada hal-hal menarik yang dapat kita singkap bersama-sama, di antaranya:
 

Pertama, hati merdeka

Keputusan leluhur Baduy menyingkir ke belantara hutan, lalu hidup dalam kesederhanaan, tidak terlepas dari tekad mereka untuk mempertahankan hati yang merdeka. Dengan mengalah ke tengah rimba, mereka tetap mempertahankan tradisi atau adat istiadatnya, tanpa diracuni oleh kepentingan pihak-pihak lain.

Sikap kemandirian dalam kebersahajaan ini membebaskan suku Baduy dari beban ambisi duniawi. Tidak jarang orang-orang dari kota mendatangi dan menginap di perkampungan mereka. Apa yang dirasakan tidur di gubuk suku Baduy?

Seseorang mengenang, “Hidup ini terasa tenang. Pikiran merdeka dari beban. Inilah merdeka yang membebaskan!”

Terkadang kita tidak menyadari telah membiarkan hati, pikiran, perasaan terjajah oleh berbagai ambisi yang berbalut kecemasan atau ketakutan. Mungkin kita terlalu takut kehilangan dunia dan gemerlapnya. Padahal kesederhanaan itu memudahkan kita untuk meraih hati yang merdeka.

Belasan abad yang lampau, Umar bin Khattab pernah menangis melihat Rasulullah bangun dari tidurnya, lalu bilur-bilur pelepah kurma masih membekas di punggung suci beliau. Rasulullah dan para sahabatnya memang istikamah mengamalkan hidup yang merdeka dari belenggu dunia.

Rasulullah juga sering mengalami masa keemasan, di mana harta benda demikan banyak mendatanginya, yang membuatnya kaya raya. Akan tetapi, beliau membebaskan hatinya dari penjajahan dunia. Hati beliau merdeka yang sebenarnya.

Suatu hari penduduk Madinah gempar melihat limpahan emas perhiasan, uang dan harta berharga yang ditaruh di masjid. Nabi Muhammad hanya melihat sekilas, seperti hatinya tiada tertarik. Setelah shalat barulah beliau membagi-bagikannya hingga harta itu habis. Nabi Muhammad pun pulang dengan hati merdeka ke rumahnya yang teramat sederhana.

Kedua, selamat Covid-19

Siapa sangka kalau keputusan menyingkir ke hutan itu malah menjadi berkah, sekalipun hingga era milenial ini suku Baduy banyak ketinggalan dalam aspek ilmu pengetahuan dan teknologi, akan tetapi mereka memperoleh manfaat yang besar dalam menjaga komunitasnya.

Dari berbagai pengecekan kesehatan, hingga detik ini tidak ditemukan kasus Covid-19 di suku Baduy. Mereka mampu menghimpun kekuatan komunitasnya untuk menjaga diri dari virus mematikan ini. Kehidupan yang bersahaja dalam kelompoknya membuat mereka lebih kompak dan taat dalam protokol kesehatan.

Beginilah kalau ikatan sosial terjaga dengan kokoh, masyarakatnya bisa saling menguatkan dan mengingatkan.

Ketiga, kearifan lokal

Balik lagi kita ke belasan abad yang lampau, tepatnya ketika Fathu Makkah (pembebasan kota Mekkah) tidak terjadi pemusnahan manusia dan juga peradabannya. Rasulullah beserta kaum muslimin hanya menghancurkan berhala, dan hal-hal yang bertentangan dengan ajaran Islam.

Sayyid Sabiq dalam bukunya Fiqih Sunnah 4 mengungkapkan, Rasulullah Saw. berujar kepada penduduk Mekah pada hari Fathu Makkah, “Pergilah kalian. Sesungguhnya kalian telah bebas.”

Dengan pidato demikian, bukan hanya menjamin keselamatan nyawa dan harta musyrikin Mekah yang notabene pihak yang kalah, akan tetapi adapun kearifan lokal tidak dimusnahkan, bahkan dihargai sekiranya berpengaruh positif. Misalnya, kecakapan bangsa Arab dalam bersyair, ini tetap dipelihara bahkan menjadi bagian penyemangat dalam perjuangan Islam di medan perang berikutnya.

Kearifan bangsa Arab dalam menjaga kekuatan ingatan dan kejernihan pikirannya, maka ini pun dipelihara dengan baik. Dan kemudian hari, kelebihan dari kearifan lokal ini yang ikut menopang pelestarian dalam memelihara Al-Qur’an berupa hapalan yang kuat.

Begitu pula hendaknya apa yang kita lihat pada suku Baduy dan suku-suku pedalaman lainnya, bahwa ada kearifan lokal yang perlu dipelihara dengan amat baik. Kondisi di pedalaman bukan berarti tidak ada yang mutiara hikmah yang dapat kita raih.

Jadi, bukan hanya perkara berhenti pada pro kontra mengenakan pakaian Baduy dalam berpidato, karena di balik itu ada hikmah-hikmah kebenaran yang dapat dipetik. Semoga!




Rakerkesnas 2024, Presiden: Indonesia Harus Bisa Manfaatkan Bonus Demografi

Sebelumnya

Tak Lagi Berstatus Ibu Kota, Jakarta Siap Melesat Jadi Pusat Perdagangan Dunia

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel News