Ilustrasi/ Net
Ilustrasi/ Net
KOMENTAR

Kisah A:
JADINYA serba tidak enak, yang meninggal itu adalah istri tokoh masyarakat, tetangga sebelah rumah pula yang selama ini ringan tangan mengulurkan bantuan. Meski pandemi masih heboh-hebohnya, suami istri itu datang juga takziah atas alasan tidak enak itu.

Obrolan ringan terbuka dalam nuansa syahdu dengan keluarga almarhumah. Tokoh masyarakat itu menceritakan kematian istrinya yang mendadak, demam flu biasa saja tiba-tiba meninggal dunia. Lelaki itu menghibur diri, “Ya, kita hanya menanti giliran.”

Suami istri itu tersentak kaget dan buru-buru berpamitan mengakhiri takziahnya. Dari cerita keluarga almarhumah, tampak sekali gejalanya identik dengan orang yang terpapar Covid-19.  Dan waktu pun berlalu, setelah diperiksa PCR giliran suami istri itu resmi dinyatakan terpapar pula.

Kisah B:
Akan tetapi suami istri yang lain ini mengambil pelajaran berharga dari kisah rekan mereka di atas. Bahkan pasangan ini berani menolak, dengan sopan tentunya, pihak-pihak yang hendak bersilaturahmi ke rumah, meski para tetamu berjanji akan mengenakan masker. Keluarga ini memang teramat ketat dalam memagari diri selama pandemi.

Hingga datang kabar salah seorang sanak familinya terpapar Covid-19, dia tidak mungkin dijenguk, berhubung tidak memungkinkan juga disebabkan karantina. Ceritanya berubah jadi galau tatakala sanak famili itu meninggal dunia, memang petugas khusus telah menunaikan tugasnya dengan baik. Apakah itu berarti pasutri itu tidak takziah?

Supaya tidak terjerumus menjadi debat kusir, akan lebih menenangkan apabila ditelusuri terlebih dulu hukum takziah.

Sayyid Sabiq sebagai ulama yang moderat menerangkan dalam bukunya Fikih Sunnah Jilid 2, bahwa hukum takziah adalah sunnah meskipun untuk orang kafir dzimmi. Sebagai landasan atas hal ini adalah hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Baihaki dengan sanad hasan dari Amru bin Hazm, Rasulullah saw. bersabda, “Tidaklah seorang mukmin yang turut berbelasungkawa atas musibah saudaranya kecuali Allah Swt. memakaikan padanya perhiasan kemuliaan di hari kiamat.”

Takziah dianjurkan hanya sekali, dan ditujukan untuk semua keluarga dan sanak kerabat yang ditinggal, baik lelaki maupun perempuan; kecil maupun besar, baik setelah jenazah dimakamkan ataupun setelahnya hingga tiga hari. Jika orang yang berbelasungkawa atau yang mendapat ucapan belasungkawa tidak ada di rumah, maka ia diperbolehkan takziah ke rumahnya setelah lewat tiga hari.

Mari diulangi kembali kutipan sebelumnya, hukum takziah adalah sunnah alias tidaklah wajib. Sekarang terserah masing-masing pribadi, manakah yang lebih diprioritaskan di musim pandemi begini, mau takziah atau tidak ya?
 
Apabila pilihannya adalah tetap takziah, maka kita mendapatkan pahala sebab amalan ini tergolong hukumnya sunnah. Namun bersiap pula dengan risikonya, jangan-jangan ikut tertular Covid-19, maka urusannya bisa berlika-liku.

Siap mental juga dengan risiko lainnya. Apa tuh? Ya, semisal kedatangan kita ditolak dengan sopan karena keluarga korban Covid-19 memang tidak mau ambil risiko pula. Kita juga perlu menimbang risiko-risiko lainnya juga ya!

Apabila pilihannya tidak bertakziah, kemungkinan baiknya mudah-mudahan tidak tertular Covid-19. Tetapi risiko perasaan jadi tidak enak dapat merundung pula, orang lagi kemalangan kok malah kita tidak takziah?

Berhubung ini terkait dengan perasaan, maka pandai-pandailah menjaga hati. Risiko hubungan jadi merenggang mungkin saja terjadi, tetapi bukankah kita tahu bukan hanya perkara takziah saja hubungan jadi panas dingin.

Apa tidak ada opsi lainnya?

Ternyata ada.

Barangkali takziah virtual atau online atau daring atau apalah itu sebutannya bisa dijadikan alternatif, meski belum begitu populer juga sih. Dana bantuan duka cita toh bisa melalui transfer. Memang belum banyak yang terbiasa, andaipun kalau cara begini tak dipandang sempurna, akan tetapi lebih mendingan daripada tidak sama sekali. Asalkan melalui cara virtual atau online ini etika atau norma-norma takziah tetap dilakukan.

Sebagaimana Sayyid Sabiq menerangkan tata caranya, bagi orang yang berbelasungkawa, ia diperbolehkan mengungkapkan dengan ungkapan apapun asal dapat menghibur dan meringankan kesedihan keluarga orang yang meninggal dunia. Juga dianjurkan memberi nasihat kepada keluarga agar tetap bersabar dan tabah.

Para ulama berkata, jika seorang muslim bertakziah kepada sesama muslim, hendaknya ia mengucapkan, “Semoga Allah Swt. memberi pahala yang banyak, mengganti yang lebih baik dan mengampuni dosa orang yang meninggal.”

Takziah ini perkara menjaga etika dalam tatanan sosial, yang berhubungan erat dengan bagaimana iktikad baik kita memelihara hablumminannas. Selain menjaga hubungan baik dengan orang lain, tak kalah penting menjaga kebaikan untuk diri sendiri.




Hubbu Syahwat

Sebelumnya

Bukankah Aku Ini Tuhanmu?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Tadabbur