Ilustrasi/ Net
Ilustrasi/ Net
KOMENTAR

KECOLONGAN! Dunia benar-benar kecolongan.

Pada Desember 2019, Li Wenliang yang bertugas sebagai dokter di Rumah Sakit Wuhan mendapati virus baru. Demi keselamatan rekan-rekan sesama tenaga kesehatan, Li Wenliang menyebarkan peringatan agar para dokter berhati-hati. Sebaiknya mereka mengenakan pelindung diri ketika mengobati pasien dengan gejala virus tersebut.

Sebagaimana yang dilansir banyak media atas temuannya itu, Li sempat didatangi polisi pada tengah malam. Ia dilaporkan telah membuat komentar palsu dan telah mengganggu ketenteraman sosial. Polisi pun meminta Li menandatangani surat dan mengancam akan menangkap Li apabila sang dokter tetap melanjutkan memberikan keterangan yang dianggap meresahkan itu. Pada Jumat (7/2/2020), Dokter Li Wenliang meninggal dunia karena terinfeksi virus corona.  

Akhirnya, dokter malang itu lebih dulu menghadap Tuhan. Kemudian dunia pun gempar, mengisolasi kota Wuhan ternyata sudah terlambat. Virus itu terlanjur mendunia, yang nyaris membuat kehidupan umat manusia nyaris lumpuh.

Apa kata yang patut kita pilih untuk menggambarkan prolog ini?

Apakah kecolongan, keteledoran, kesombongan, kelalaian, mau apa ya? Karena kata-kata yang sejenis itu nuansanya sudah tidak mengenakkan di hati.

Saat ini, lebih baik bagi kita menatap ke depan, masa lalu tak bisa diubah tapi dapat dijadikan pelajaran.

Dan Manna Khalil Qaththan pada buku Fii Ulumil Qur’an menyebutkan suatu kaidah, tidaklah seorang mukmin itu tersandung dua kali di batu yang sama.

Tersandung sih kejadian biasa saja, karena mata kaki tidaklah menyala seperti mata yang di kepala. Kendati demikian tersandung dua kali apalagi lebih pada batu yang sama itu namanya keterlaluan, kecerobohan dan lainnya.

Batu dalam kaidah ini adalah kiasan. Mukmin sejati tidaklah tersandung dua kali pada masalah yang sama. Itu poinnya ya!

Terkait dengan ini, Yunasril Ali dalam buku Mata Air Kearifan menerangkan, ini mengisyaratkan bahwa hari-hari yang sudah kita jalani merupakan pelajaran berharga bagi kita. Semakin panjang usia, kita pun akan semakin dewasa. Waktu-waktu yang kita lalui merupakan arena belajar yang membawa pikiran kita kepada kedewasaannya.

Nah, ini poinnya lagi, bagaimana membuat pikiran kita kian mantap menuju kedewasaannya.

Kehidupan kita nyaris lumpuh akibat virus Covid-19, nyaris dua tahun pandemi merajalela, dan dua kali Indonesia tidak bisa jamaahnya berangkat berhaji.

Namanya virus tidak akan sekali saja beraksi. Lihat sajalah sekarang ini, Covid-19 belum kelar, eh varian barunya Delta sudah nongol pula. Apakah ini yang disebut dengan tersandung dua kali?

Ah, Delta kan mutasi dari Covid-19, jangan digolongkan sebagai tersandung yang kedua kalinya dong!

Oke, baiklah.

Akan tetapi masalah virus atau pun pandemi tidak akan terjadi sekali saja. Dunia yang semakin tua ini telah mengalami sebelumnya virus SARS, ada pula penyakit Ebola yang juga bersumber dari virus dan pertama kalinya muncul di Afrika. Syukurnya, ketika itu umat manusia lekas bertindak, sehingga virus itu tidak menjadi wabah yang nyaris melumpuhkan umat manusia.

Alam takambang jadi guru, alam yang terhampar ini dijadikan guru, begitulah falsafah suku Minangkabau, di Sumatera Barat. Suku ini memang terbiasa berguru kepada alam, memetik saripati kehidupan darinya.

Syafril dan Zelhendri Zen dalam buku Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan menerangkan, belajar dengan alam takambang akan selalu serasi dan selaras dengan perkembangan, karena belajar dengan alam takambang tidak akan ada dijumpai apa yang disebut dengan keterikatan, keterbelakangan, keterbatasan, kadaluwarsa, dan lain sebagainya.

Pembelajaran seperti ini merupakan manifestasi dari keyakinan mereka bahwa agar menjadi pribadi yang utuh manusia haruslah memiliki pandangan yang bijak dalam memahami alam sebagai guru kehidupan. Pendidikan yang dimaksud tentulah pendidikan yang bersifat menyeluruh, padu yang tak terpisahkan dari kehidupan itu sendiri.

Kita hidup di alam, yang membentangkan berbagai hikmah kebijaksanaan. Alam yang bukannya dimusuhi, melainkan dijadikan guru kehidupan.

Apakah dengan demikian kita berguru kepada virus?

Ya, berguru dalam arti mengambil pelajaran darinya. Pendidikan itu bukan hanya transfer knowledge melainkan transfer value. Mestilah ada nilai-nilai kebenaran dan kebaikan yang hendaknya kita serap dari pandemi yang mewabah hampir dua tahun ini.

Agar ke depannya umat manusia tidak tersandung berulangkali di batu yang sama.




Hubbu Syahwat

Sebelumnya

Bukankah Aku Ini Tuhanmu?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Tadabbur