Ilustrasi/ Net
Ilustrasi/ Net
KOMENTAR

IBU, sang madrasatul ula. 'Sekolah' pertama dan utama bagi putra-putrinya. Ketika kita meremaja dan mendewasa di tengah zaman yang semakin modern, kita seringkali menganggap masa kini adalah yang terbaik. Seolah-olah, semua yang tercipta dan hadir di zaman modern pasti benar dan baik untuk kita.

Banyak hal dalam kehidupan modern yang kita 'agung-agungkan', salah satunya dalam urusan pengasuhan anak. Ada banyak mitos di masa lalu yang dipatahkan oleh para psikolog atau ahli parenting. Makin hari, kita diyakinkan bahwa hubungan orangtua dan anak harus condong kepada 'persahabatan' agar anak dapat dekat dan tak ragu untuk membuka diri kepada orangtua.

Orangtua memberi kesempatan kepada anak untuk mengeluarkan pendapat dan membicarakan perasaannya. Sedih atau marah, jangan dipendam dalam hati.

Namun kerap kali kita menyalahgunakan kesempatan tersebut. Kita, yang sudah menamatkan S1 atau S2, merasa smart karena mengantongi banyak ilmu dan selalu up to date dengan berbagai informasi dan teknologi terkini. Zaman yang bergerak sangat dinamis biasanya membuat kita mencap pemikiran orangtua 'ketinggalan zaman' alias kuno dan kolot.

Akibatnya, kita tak takut mendebat orangtua. Membanding-bandingkan kelebihan zaman now dengan zaman saat ayah dan ibu menghabiskan masa kecil dan remaja mereka. Kita berbicara panjang lebar menyebutkan fakta dan temuan baru yang kita ketahui. Memamerkan kepintaran kita di depan orangtua. Menganggap out of date pendapat orangtua bahkan menertawakan ketidaktahuan orangtua tentang perkembangan zaman.

Ada sebuah perkataan tegas yang diucapkan Ali bin Abi Thalib: "Jangan gunakan kefasihan bicaramu (mendebat) di hadapan ibumu yang dulu mengajarimu berbicara."

Siapa kita? Bisa-bisanya mendebat orangtua dengan angkuh demi menemukan pembenaran terhadap sesuatu yang kita lakukan. Saran dan nasihat dari orangtua 'memantul' di otak kita; singgah sejenak lalu menguap tanpa diingat. Seolah pemikiran orangtua semuanya salah. Hanya kita yang benar.

Perkataan Ali di atas juga mengingatkan bahwa penghormatan dan bakti anak kepada orangtua harus berlangsung seumur hidup. Bukan hanya di saat anak masih kecil ketika diperkenalkan bahwa surga ada di telapak kaki ibu.

Sungguh tak pantas kita membangkang setelah kita mampu 'berdiri' di atas kaki sendiri. Karena orangtualah yang mengajarkan kita untuk berdiri saat balita lalu 'berdiri' di atas kemandirian kita setelah dewasa. 

Terlebih lagi, teramat buruk perilaku kita bila mendebat ibu, sedangkan dari ibulah kita belajar berbicara. Ibulah yang mengenalkan kita pada aneka kosakata. Bagaimana bertutur kata yang sopan dan berperilaku terhormat.

Sekali lagi, ibu adalah madrasatul ula. Ia adalah gudang ilmu yang menjadi tempat acuan bagi putra-putrinya. Ia pusat dunia bagi anak-anaknya sejak mereka masih bayi. Ibu yang mengajarkan kita tentang kehidupan. Bukan sekadar mengajarkan teori matematika atau ilmu sosial. Ibu mendidik kita dengan karakter-karakter unggul yang kelak menjadikan kita manusia unggul di muka bumi.

Ibu yang melahirkan kita. Ibu yang menggendong kita. Ibu yang menyusui kita. Ibu yang memasak makanan kesukaan kita. Ibu yang membasuh luka saat kita terjatuh. Ibu yang memberikan semangat untuk kita berprestasi di sekolah.

Ibu pula yang mengenalkan kita kepada nilai-nilai agama. Tentang ibadah dan akhlak. Bagaimana manusia harus menjadi pribadi yang saleh dan bermanfaat untuk lingkungan sekitarnya. Tidak pelit bersedekah juga berkurban. Jangan sombong, begitu pesan ibu selalu.

Dan ibulah yang mengajarkan kita berbicara. Kata demi kata ia perkenalkan pada kita. Terbata kita mengucapkannya bahkan seringkali keliru mengatakannya. Ibu dengan sabar membimbing kita.

Maka pantaskah kita, ketika titel sarjana sudah diraih, karier cemerlang sudah digenggam, pergaulan kita sudah luas, lantas mendebat ibu?

Sekali pun pendapat ibu tidak tepat, kita tetap wajib menghormatinya dan tetap santun dalam bertutur kata. Carilah kesempatan yang lebih tenang untuk bisa menyampaikan pendapat kita. Jangan pernah meninggikan suara kita di depan manusia mulia yang mengajarkan kita berkata-kata.

Ingatlah bahwa "Ibumu, ibumu, ibumu, baru bapakmu" juga ditegaskan Rasulullah saw. saat ditanya sahabat tentang siapakah orang yang harus dihormati di dunia.

Semoga kita selalu bisa menghargai ketidaksempurnaan dalam hubungan kita dengan ibu kita.




Hubbu Syahwat

Sebelumnya

Bukankah Aku Ini Tuhanmu?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Tadabbur