Ilustrasi/ Net
Ilustrasi/ Net
KOMENTAR

DERAI air mata mengguratkan sesuatu yang amat mendalam di lubuk sukma, tak terkecuali itu perkara mudik. Perempuan itu bersama suami dan anak-anaknya nyaris begadang semalam suntuk. Hasrat pulang kampung demikian mengganggu pikiran, hingga mata sulit terpejam. Siapa sih, yang tak ingin berjumpa sanak keluarga di hari nan fitri?

Akan tetapi seluruh umat manusia tengah menghadapi bencana Covid-19. Bahkan di sejumlah negara pandemi kian menggila. Larangan mudik telah jauh hari diumumkan pemerintah. Maka hasrat mudik nyaris mustahil terwujud.

Perempuan tersebut telah bertahun-tahun hidup di perantauan, dengan pahit getir mengumpulkan uang demi mewujudkan cita-cita pulang kampung. Kini, giliran uang sudah ada, malahan kesempatan yang tiada. Uang tidak bisa membeli kesempatan mudik.

Perempuan itu mengajak suami untuk bertindak nekat. Toh, dulu mereka juga pernah bertindak nekat. Menikah dengan modal nekat, tegar menghadapi penolakan orangtua dan cemoohan masyarakat.

Tapi mudik modal nekat saja tidak mudah, begitu alasan suami. Bukankah sudah banyak orang yang duluan nekat mudik, langkah mereka terhenti karena aparat lebih sigap memutar balik para pemudik. Aturan ditegakkan dengan ketat tanpa pandang bulu. Semua demi kebaikan bersama.

Tak bisa dipungkiri betapa luar biasa semangat mudik masyarakat kita. Apa pun cara mereka tempuh, bagaimana pun risiko mereka tanggung. Betapa menakjubkan melihat orang sekeluarga, plus barang-barang bawaan, menunggang sepeda motor dari Jakarta ke kota-kota di Jawa Tengah hingga Madura atau dari Jawa ke Sumatra.

Mudik dapat pula menjadi bukti betapa besarnya nyali anak-anak bangsa ini. Pasalnya, mudik identik dengan tragedi. Setiap tahun ada saja korban jiwa dari kecelakaan di berbagai titik mudik. Tak sedikit pula yang mengalami luka-luka, dari yang ringan hingga yang parah. Jumlah tersebut biasanya bertambah dari tahun ke tahun meski pernah pula mengalami penurunan.

Pada buku Melihat Angka Kecelakaan Arus Mudik Pada Periode Presiden Joko Widodo disebutkan Kepolisian Republik Indonesia bahwa jumlah kecelakaan selama masa mudik Lebaran 2017 hingga H+4 Lebaran, jumlah kecelakaan sebanyak 1.764 kejadian dengan jumlah korban jiwa 391 orang.

Kabar baik datang di tahun 2019 dengan angka korban meninggal menurun cukup drastis, lebih dari separuh. Namun jumlahnya masih di atas seratus nyawa yang menjadi korban. Dan kendati korban terus berjatuhan, tradisi mudik tidak pernah pudar.

Perlukah kita sedemikian nekat?

Sejatinya, tidak ada mudik dalam ajaran Islam. Tidak ada dalil kuat yang memerintahkan kaum muslimin mudik setiap kali Idul Fitri. Dengan demikian tidak berdosa toh kalau kita tak mudik?

Akan tetapi di sini pula letaknya keindahan agama Islam, yang demikian cair dalam menampung kreatifitas umatnya. Mudik diterima sebagai bagian dari kekayaan tradisi peradaban, utamanya di Indonesia. Islam dapat menerima sisi positif dari apa pun tradisi yang tercipta itu, sebagaimana mudik yang dipandang bagian dari silaturahmi, sedangkan silaturahmi jelas ada tuntunannya dalam ajaran agama.

Namun, tidak pernah Nabi Muhammad beserta para sahabatnya mudik dari Madinah ke Mekkah setiap kali Idul Fitri. Bahkan kemeriahan hari raya itu justru terjadi pada Idul Adha, di mana ada penyembelihan hewan kurban. Ada pun ketika Idul Fitri, sebagaimana di kebanyakan negara-negara muslim lainnya, nyaris tanpa kehebohan yang berarti.

Lain halnya dengan muslim Indonesia, yang menjadikan Idul Fitri sebagai puncak kemeriahan hari raya, plus karnaval mudik yang memesona itu. Lagi-lagi tidak ada pengharaman terhadap mudik, akan tetapi kita diminta untuk mempertimbangkan baik buruknya mudik di era pandemi begini.

Nyawa adalah titipan dari Ilahi yang perlu dijaga dengan sebaik mungkin, jangan disia-siakan untuk sesuatu yang tidak pernah diperintahkan Allah atau diwajibkan-Nya. Dan akan lebih indah, apabila nyawa ini plus keselamatannya kita manfaatkan lebih banyak lagi untuk menebar kebaikan di persada dunia. Artinya, dalam menghadapi pandemi dan berbagai dampaknya, kita memang perlu memasang kesabaran.

Surah Al-Baqarah ayat 153, yang artinya, “Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.”
 

Said bin Jubeir berkata, “Sabar ialah pengakuan seorang hamba kepada Allah atas musibah yang menimpanya itu dari Allah dan menyerahkan perhitungannya kepada Allah dengan mengharapkan pahala-Nya. Terkadang seseorang berkeluh-kesah, namun dia harus bersikeras bahwa tiada jalan lain kecuali bersabar.” (dikutip dari Muhammad Nasib Ar-Rifa'i dalam buku Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir Jilid 1)

Tidak ada kesabaran yang berakhir buruk, karena sabar itu keutamaan yang seringkali diingatkan Allah di dalam Al-Qur’an.

Apabila kita tidak mudik tahun ini, maka sesungguhnya kita tetap dapat menjadi pemenang Ramadhan, apalagi Allah menyertai bersama kesabaran kita. Karena dengan kesabaran itu Allah akan memberikan kehidupan yang baik dan kesempatan yang lebih baik lagi untuk mudik di masa mendatang. Insya Allah!

 

 

 




Hubbu Syahwat

Sebelumnya

Bukankah Aku Ini Tuhanmu?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Tadabbur