'Tsunami Covid' menerjang India dalam beberapa hari terakhir. Berbagai rumah sakit dari New Delhi hingga pelosok daerah menolak pasien karena kehabisan oksigen dan ranjang/ Foto: Reuters
'Tsunami Covid' menerjang India dalam beberapa hari terakhir. Berbagai rumah sakit dari New Delhi hingga pelosok daerah menolak pasien karena kehabisan oksigen dan ranjang/ Foto: Reuters
KOMENTAR

BELAJAR dari India kali ini bukan soal ilmu pengetahuan dan teknologi yang melaju pesat. Melainkan tentang bagaimana kedisiplinan dalam menerapkan protokol kesehatan dan konsistensi negara dalam mengatur kegiatan rakyat selama pandemi Covid-19. Belajar, dalam arti jangan sampai mencontoh apa yang terjadi di India.

India kini dilanda 'tsunami' Covid-19 gelombang kedua. Bukan tanpa alasan, karena berbagai aktivitas sosial yang melibatkan kerumunan massa dalam jumlah ratusan hingga ribuan sempat berlangsung di negara itu.

Pasar, mal, tempat olahraga, bandara, stasiun kereta api, dan upacara keagamaan di tempat umum dipenuhi masyarakat. Hingga akhir pekan kemarin, kasus harian mencapai 315 ribu kasus—yang menjadi tertinggi di dunia, dengan jumlah kematian setiap hari mencapai 2104 jiwa, seperti dilansir BBC.

Saat ini, di India banyak ditemui kasus varian baru B1617 yang bermuatan mutasi ganda.
Dengan begitu tingginya angka penyebaran Covid-19, sistem kesehatan di banyak kota nyaris kolaps.

Bahkan beberapa rumah sakit di ibu kota New Delhi pun tak sanggup menampung banyaknya pasien yang datang. Mengutip change.org, seorang dokter di India menyebut kondisi negaranya sebagai 'situasi di luar nalar'.

Di layar televisi, kita bisa menyaksikan penduduk India berbondong-bondong mengantar anggota keluarga ke rumah sakit. Ada yang mengantar menggunakan motor atau becak bermotor. Tak lagi ada mobil ambulan tersisa. Ada pasien yang meninggal dunia sesampainya di tempat parkir rumah sakit sebelum mendapat perawatan.

Ruang ICU dan kamar perawatan penuh. Para pasien Covid-19 banyak yang dirawat di lorong-lorong rumah sakit. Kita bahkan melihat pasien-pasien dengan selang oksigen berada di halaman rumah sakit.

Data Worldometer (24/04/2021) menunjukkan angka kasus Covid-19 di India tertinggi di dunia kedua setelah Amerika Serikat.

Dengan kondisi negara yang tergulung 'tsunami' Covid-19, banyak warga negara India kabur keluar negeri, termasuk ke Indonesia. Mengutip Antara, sebanyak 127 WN India tiba di bandara Soekarno-Hatta dengan pesawat carter Air Asia pada 21 April 2021. Dari hasil pemeriksaan, Kementerian Kesehatan menemukan 12 orang di antaranya positif Covid-19.

Pemerintah Indonesia kemudian memutuskan melarang WN India atau warga negara asing yang sempat mengunjungi India masuk ke Indonesia mulai 25 April 2021. Adapun WNI yang akan kembali ke Indonesia dari India tetap diizinkan masuk dan wajib menjalani karantina.

Saat ini, Indonesia tidak mengalami kondisi yang sama dengan India. Namun apa yang terjadi di India harus menjadi pelajaran berharga bagi kita semua; pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan semua rakyat Indonesia. Ingatlah, pandemi belum usai.

Mengapa kita mesti belajar dari India? Karena kebebasan mobilitas masyarakat India sudah mulai ditemui di negara kita. Pasar, mal, tempat wisata, dan tempat olahraga mulai dibuka.

Penerbangan antarkota dan perjalanan kereta api mulai ramai. Satu tahun berlalu, semakin banyak warga yang menganggap biasa pandemi dan mulai kendur menaati protokol kesehatan. Banyak warga mulai tak peduli pandemi.

Satu hal lagi yang harus menjadi kewaspadaan bersama. Satu tahun lebih pandemi hadir di Indonesia, angka kematian akibat Covid-19 selama Januari-April 2021 di Indonesia tercatat sebanyak 44.500 kasus (data covid19.go.id per 24 April). Sementara pada akhir Desember 2020, jumlah kasus kematian akibat Covid-19 adalah 22.138 kasus.

Itu artinya, angka kematian Covid-19 dalam 4 bulan pertama tahun 2021 sama (bahkan lebih sedikit) dari angka kematian Covid-19 selama tahun 2020!

Belajar dari India berarti kita belajar untuk tidak mencontoh apa yang dilakukan negara itu. Jika di sana mobilitas massa terjadi dengan bebas, maka PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) dan PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) di negara kita harus dijalankan dengan tegas.

"Kita sekarang alhamdulillah, PPKM mikro dan program vaksinasi sudah bisa menurunkan laju penularan kasus konfirmasi dan keterisian rumah sakit. Tolong kita jaga diri kita, kita tetap waspada, kita tetap hati-hati, kita tetap disiplin menjalankan protokol 3M, kita tetap mematuhi aturan PPKM skala mikro—yang menurut kami sudah sangat baik jalannya. Insya Allah di masa Ramadhan ini dan Idul Fitri kita tidak usah mengalami seperti yang ada di India," ujar Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dalam keterangan pers (19/04/2021).

Pemerintah memang menghadapi pro kontra dan dilema dalam menerapkan PSBB yang kini berganti menjadi PPKM. Ada kalangan menilai PSBB alias lockdown lebih efektif menurunkan laju penyebaran Covid-19. Namun PSBB sangat berimbas pada kehidupan perekonomian, terutama masyarakat kecil yang mendapat pemasukan dari usaha harian.

Sementara di sisi lain, PPKM yang lebih fleksibel dibandingkan PSBB dianggap setengah-setengah alias plin-plan dalam menerapkan pembatasan social distancing, namun diberlakukan demi pemulihan ekonomi bangsa. Penerapan PPKM lebih menuntut kesadaran masyarakat untuk disiplin menjalankan protokol kesehatan.

Namun demikian, pemerintah mengklaim bahwa PPKM efektif untuk menurunkan laju penyebaran Covid-19. Pemerintah memberlakukan PPKM mikro di 20 provinsi dan memperpanjangnya sejak 20 April hingga 3 Mei 2021.

 

 




Bintang Puspayoga: Angka Perkawinan Anak Menurun dalam Tiga Tahun Terakhir

Sebelumnya

Lebih dari 200 Rumah Rusak, Pemerintah Kabupaten Garut Tetapkan Status Tanggap Darurat Bencana Gempa Bumi Selama 14 Hari

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel News