Ibu bukan hanya perempuan yang melahirkan, tapi yang menjadi teman sejati bagi kehidupan hingga kematian anaknya. Great mother itu berhasil mengantar anak-anaknya hingga ke surga/ Net
Ibu bukan hanya perempuan yang melahirkan, tapi yang menjadi teman sejati bagi kehidupan hingga kematian anaknya. Great mother itu berhasil mengantar anak-anaknya hingga ke surga/ Net
KOMENTAR

DI rumahnya yang supermegah dan saking luasnya bisa membuat orang nyasar, justru ruangan tamu yang paling dibanggakan perempuan itu. Karena di sana berjejeran berbagai medali penghargaan, dan saking banyaknya bahkan lemari besar pun tak kuat menampung.

Dan yang paling membanggakannya adalah penghargaan sebagai ibu teladan, yang mana dirinya dipandang sebagai inspirasi dalam mengasuh dan mendidik anak.

Hidup perempuan itu nyaris sempurna; kaya raya dengan bisnis menggurita, cantik jelita, modis pula busananya. Prestasi putrinya juga layak dibanggakan di forum-forum terhormat.

Segalanya tampak indah, sampai di suatu hari ia meminta semua penghargaan disingkirkan ke gudang. Saat itu terasa betapa sempitnya istana megah miliknya, bahkan langit terasa runtuh. Karena putri satu-satunya terjerumus di kehidupan malam, bahkan menjadi pecandu narkoba!

Sejenak kita tarik memori belasan abad yang lampau, ketika Rasulullah masih hidup. Tersebutlah seorang sahabiyah bernama Raithah binti Munabbih. Perempuan ini dipuji oleh Nabi Muhammad, tentang keutamaan dirinya, keluarganya, anaknya juga.

Bagi kalangan muslimin, jika seseorang ibu pernah disanjung Rasulullah, maka layaklah ia disebut dengan The Great Mother; ibu yang hebat.

Uniknya, kehebatan Raithah bukan berarti dirinya menjadi orbit tunggal dari anak-anaknya. Bukan pula dirinya itu senantiasa benar, dan menjadi satu-satunya referensi bagi buah hatinya. Apa sih kehebatan Raithah?

Salah satunya, Raithah ini rajin belajar kepada putranya. Ya, ibu hebat malah belajar pada anaknya. Lho kok begitu sih?

Begini salah satu kejadiannya:

Abdullah bin Amr pernah melihat ibunya, Raithah binti Munabbih, melakukan shalat tanpa menyempurnakan ruku dan sujud. Setelah shalat, ia mendekati ibunya dan berkata, “Suatu hari kami pernah bertanya kepada Rasulullah, ‘Apakah pendapat Anda tentang peminum khamr, pencuri dan pelaku zina?’

Beliau menjawab, ‘Itulah perbuatan keji, padanya terdapat hukuman. Dan seburuk-buruknya hukum adalah orang yang mencuri dalam shalat.’

Raithah bertanya, ‘Bagaimanakah seseorang mencuri dalam shalat?’

Dengan tersenyum, Abdullah bin Amr berkata, ‘Rasulullah bersabda, ‘Yang tidak menyempurnakan ruku dan sujudnya.”

Di sini Raithah menyadari bahwa anaknya bermaksud membimbingnya untuk memperbaiki, menyempurnakan dan berlaku khusyu dalam shalat.  (Hepi Andi Bastoni, buku 101 Wanita Teladan di Masa Rasulullah)

Dalam pola hubungan Raithah dan putranya terjalin komunikasi yang jujur, yang berhasil merekatkan hubungan yang erat. Anaknya malah makin menghargai ibu di atas kekurangan dan kelebihan yang dimiliki Raithah.

Di mata Abdullah bin Amr, ibunya hebat bukan karena cemerlang segalanya, melainkan karena menjadi pribadi yang mau membuka diri, dan belajar dari kesalahan.

Ibu teladan, ibu hebat, ibu mulia, ibu inspiratif atau apalah itu istilahnya adalah wanita-wanita yang berhasil memenuhi kriteria idaman penyelenggara lomba, utamanya dewan juri.

Ingatlah, status ibu itu disandang karena keberadaan anak. Jadi, patut ditanyakan apakah wanita itu berhasil meraih kriteria the great mother versi anaknya?

Belum tentu juga.

Tidak selalu kriteria versi penyelenggara lomba sama persis dengan ibu teladan berdasarkan impian anaknya, dan tidak jarang malah bertolak belakang.

Celakanya, ketika telah meraih banyak penghargaan, sebagian ibu hebat itu merasa telah sampai di puncak dan tidak perlu lagi belajar. Justru orang-orang lain yang mesti belajar pada dirinya, utamanya anak-anak yang perlu mempelajari kesuksesan ibunya.

Dan ketika seorang manusia tak mau lagi belajar, ketika itulah persoalan besar baru saja menimpa hidupnya.

Tanpa belajar manusia tidak berkembang, bukan hanya ketinggalan tetapi juga akan menjadi persoalan bagi keluarga dan lingkungannya. Betapa banyak kejadian ibu yang tidak menjalankan perannya, sehingga muncul berbagai pergesekan dengan anak.

Sayangnya, jadinya anak memutuskan pura-pura bahagia. Menurut di hadapan orangtua, di belakang mencari jalan pelampiasan. Ya, seperti kira-kira pada kisah pembuka cukup menjadi pelajaran berharga bagi kita semua.




Mematahkan Mitos Menikah di Bulan Syawal

Sebelumnya

Menyibak Rahasia Syawal

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Tadabbur