Ilustrasi/ Net
Ilustrasi/ Net
KOMENTAR

MOHON jangan berprasangka buruk dulu kepada amarah. Tidak. Sekali lagi, tidak semua marah itu buruk! Bahkan amarah itu juga bagian dari kekuatan yang disebut dengan quwwah ghadabiyah (kekuatan amarah).

Kekuatan inilah yang kita gunakan untuk membela kehormatan Allah, Rasulullah, agama, diri, keluarga dan kaum muslimin, yang berlandaskan kebenaran tentunya. Tidak ada perintah untuk mematikan quwwah ghadabiyah, karena ia bagian penting dari kepribadian manusia.

Akan tetapi setiap yang berlebihan itu dapat berujung pada petaka, tak terkecuali amarah. Segala sesuatu ada takarannya, minum obat melebihi dosis bukannya sembuh malah menambah penyakit baru. Amarah yang tidak terkontrol dapat merusak diri sendiri dan juga menelan korban pihak yang tiada bersalah.

Apalagi kemarahan yang meluap-luap itu terjadi dalam lingkungan keluarga, efeknya jauh lebih berbahaya:

Kisah pertama:

“Istri saya tak pernah marah. Kalau pun tidak suka paling juga diam.”
Lelaki berumur itu tersenyum bangga. Teman-temannya heran, bagaimana bisa puluhan tahun menikah seorang istri tidak pernah marah?

Sambil mengusap ubannya, pria itu berkata, “Dia itu diajarkan kalau sama suami ya ngabdi.”
Tatkala sang suami pulang ke rumah, sebuah batu bata melayang. Blakk! Mendarat telak di jidatnya. Adegan-adegan horor berikutnya tidak perlu kita bahas, karena mulai dari tetangga, sanak famili hingga psikiater telah mengambil alih kerusuhan malam itu.

Mungkin-mungkin saja sih pasangannya tidak marah puluhan tahun, tapi sekalinya marah bagaikan letusan gunung berapi.

Kisah kedua:

“Sejak kerja sama bule, suamiku pulang bawa banyak duit.”
Anehnya raut sedih bercampur takut yang justru menggayut, apakah perempuan itu tidak lagi doyan uang?

“Tapi, tiap pulang malam, dia marah-marah terus!”

Kini keluarganya berlimpah uang, namun suasana jadi mencekam. Anak-anak amat ketakutan. Sang istri paham suaminya capek, tapi ia pun tidak tega melihat anak-anak terguncang.

Banyak sekali contoh amarah dalam rumah tangga, dan lebih banyak lagi dampak traumatisnya yang acapkali tiada tersingkap. Marah sama orang lain saja menimbulkan guncangan, apalagi kemarahan yang meletup terhadap pasangan.

Terlebih, tidak jarang marah itu salah alamat; kesal sama atasan dilampiaskan pada istri, tersinggung sama tetangga membalasnya ke suami, tak bernyali marah sama suami atau istri malah anak dijadikan sasaran. Amarah macam ini justru menambah rangkaian permasalahan, tidak akan ada tuntasnya.

Berhati-hatilah meluapkan amarah dalam rumah tangga, karena itu amat menyakitkan bagi
istri maupun suami. Karena mendapatkan amarah dari orang yang dicintai itu lebih mengguncang hati.

Apalagi bagi anak-anak, bocah-bocah polos itu akan terluka sanubarinya dan akan menimbulkan trauma yang dapat merusak kehidupan dan masa depan mereka.

Begitulah amarah yang berlebihan, lepas kendali hanya menghasilkan kerusakan yang sering tak terdeteksi. Waspadalah! Waspadalah!

Memang sih ada nasehat bijak terhadap suami istri, kalau ada yang marah, maka harus ada yang mengalah. Tetapi mengalah terus juga tidak baik, tumpukan amarah itu nantinya malah berujung dengan ledakan luar biasa.

Inilah saatnya kita mengetahui resep mengendalikan amarah, agar terkontrol dengan bijaksana. Ibarat penyakit, maka marah pun perlu diobati agar tidak lepas kendali.

Mustafa Al-Bugha dalam kitab Al-Wafi: Syarah Hadis 40 Imam Nawawi menjelaskan, bahwa cara mengobati marah:

Pertama, melatih dan membiasakan diri dengan akhlak terpuji seperti lemah lembut, sabar, berpendirian kuat dalam segala urusan, dan berhati-hati dalam segala tindak tanduk dan mengambil keputusan.

Kedua, mengendalikan diri ketika marah, mengingat efek negatif marah dan keutamaan menahan diri dari marah dan memaafkan.  

Ketiga, memohon perlindungan kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk.

Keempat, mengubah posisi ketika marah. Rasulullah bersabda, “Jika salah seorang di antara kamu marah sedang ia berdiri, hendaknya ia duduk dengannya kemarahan tersebut bisa hilang. Namun jika tidak bisa, hendaklah berbaring.” (HR. Ahmad dan Abu Daud).




Ketika Maksiat dan Dosa Menjauhkan Kita dari Qiyamul Lail

Sebelumnya

Karena Rasulullah Tak Pernah Melupakan Kebaikan Orang Lain

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Tadabbur