KOMENTAR

PERTANYAAN berikut ini boleh-boleh saja dipilihkan jawaban, antara; ya atau tidak!

Apakah pasangan (suami/istri) pernah melakukan kesalahan pada diri Anda?

Jawaban iya, artinya Anda bersikap jujur terhadap pasangan dan memandang dirinya dengan kacamata manusiawi. Mana ada sih manusia yang tidak pernah berbuat salah!

Jawaban tidak, artinya Anda punya pikiran amat positif, saking positifnya tidak ada tempat lagi untuk menilai negatif. Mungkin juga Anda tergolong yang sangat suka husnudzan atau berbaik sangka.

Apakah Anda pernah merasa tersakiti oleh pasangan (suami/istri)?

Jawaban iya, artinya Anda bersikap jujur terhadap diri sendiri. Anda mengakui eksistensi perasaan pribadi dan tidak mematikan potensinya. Hati mana sih yang tak pernah terluka!

Jawaban tidak, artinya Anda punya hati yang amat luas, bahkan lebih luas dari samudera. Bahkan rasa sakit itu tidak pernah sampai menikam ke lubuk hati, sehingga tidak ada masalah apa-apa. Anda memiliki hati yang luar biasa. Salut!

Lho, kok jawaban ya atau tidak kelihatannya sama baiknya? Kenapa tidak ada jawaban yang benar dan yang salah? Oke, mari kita simak dulu yang berikut ini:

Suami A: Pagi-pagi suami A duduk di beranda, menikmati kopi dan membaca, sambil memandang miris suami tetangga. Sejak Subuh buta suami B itu pergi berbelanja ke pasar. Kalau dia mau minum kopi, ya bikin sendiri. Malahan dia yang terkadang membuatkan minuman untuk istrinya. Sering pula suami tetangga itu menyapu dan mengepel, serta terlibat pekerjaan rumah tangga lainnya.

Suami A ini memandang istri tetangga telah bersalah. Istri tetangga sebelah telah menyakiti suami sendiri. Pokoknya salah!

Suami B: Pagi-pagi pulang dari berbelanja di pasar, ia memandang miris suami A tetangganya. Pagi-pagi dia bersantai di teras rumah, minum kopi dan membaca. Istrinya pontang-panting mengurusi semua tetek-bengek rumah tangga, termasuk anak-anak. Tidak pernah dilihatnya suami A itu mengulurkan tangan di rumahnya sendiri.

Suami B menyimpulkan suami A telah bersalah. Dia telah menyakiti perasaan istrinya. Jangan-jangan dia tidak punya perasaan!

Ya beginilah jadinya, karena yang sedang kita bahas adalah perkara perasaan, jadinya amat subjektif. Sesuatu itu tergantung pada orang yang memandang dan menilainya. Supaya lebih mudah mencernanya simaklah perbandingan berikut ini:

Istri A: Malam itu dia melabrak ke sebuah warung makan. Dia marah karena suami santap malam di luar rumah. Padahal dirinya siap kapan saja memasak demi suami. Toh, tidak akan lama! Suami telah menyakitinya, meremehkan totalitasnya sebagai istri. Perempuan itu terluka!

Sang suami punya alasan, makan di luar demi menghargai istrinya. Tidak tega istrinya yang capek, terbangun lagi malam hari lalu memasak dan menghidangkan. Toh, tak jauh dari rumah ada warung makan 24 jam nonstop. Kenapa tersakiti? Apanya yang salah?

Istri B: Sesuai jadwalnya, suami mestinya pulang di pagi hari, tapi tengah malam sang suami malah pulang bersama rekannya. Ada berkas yang tertinggal di rumah. Begitu terbangun dari lelapnya, suami meminta istrinya menyiapkan minuman hangat dan juga kudapan.

Rekan suami tak enak, “Inikan sudah malam, masih mengantuk tuh terbangun tidur nyenyak.”
Sang istri malah tersenyum bahagia menyiapkan hidangan larut malam itu. Dia merasa telah menunaikan pengabdian yang terbaik. Suaminya melakukan hal yang benar, menurutnya.

Akan sangat banyak contoh yang membingungkan kita dalam menilai kehidupan rumah tangga. Memang amat sangat subjektif sekali, tidak dapat kita nilai hitam putih. Lantas mengapa masih ada perasaan tersakiti dalam keluarga, khususnya suami istri?

Ya, itulah efek dari subjektif tadi. Sangat mungkin suami menganggap yang diperbuatnya benar, tapi istri menilainya salah, bahkan kemudian muncullah perasaan tersakiti. Unsur subjektif antartetangga saja telah rumit, padahal kita tidak perlu berkontak setiap waktu.

Makanya urusan perasaan yang tersakiti dalam kerangka hubungan suami istri menjadi lebih menantang, karena yang terlibat adalah dua hati, dua subjektifitas, melibatkan dua insan yang tinggal seatap, sekamar bahkan seranjang.

Di sinilah ego berhadap-hadapan kesabaran, keridaan bertarung dengan sensitifitas. Kalau tidak pandai-pandai, rasa sakit itu akan awet dalam waktu yang panjang. Padahal hurt feelings itu butuh pemakluman dan juga kesepahaman. Kok begitu? Ini sesuai dengan yang diamalkan oleh Rasulullah.

Shafiyah terkenal pandai memasak dan sering menghadiahkan makanan kepada suaminya, Nabi Muhammad, yang berujung kecemburuan Aisyah.

Sulaiman an-Nadawi dalam buku berjudul Aisyah menerangkan, bahwa dalam riwayat Bukhari dikatakan, “Salah satu Ummul Mukminin mengutus pembantu untuk mengirim satu nampan makanan. Aku (Aisyah) memukul nampan itu sehingga pecah. Rasulullah segera mengumpulkan pecahan nampan tersebut dan menaruh makanan yang jatuh di atasnya, lalu berkata kepada orang-orang, ‘Makanlah!’ Lalu Asiyah bertanya kepada Nabi tentang dendanya. Beliau menjawab, ‘Dendanya adalah satu nampan seperti nampan itu dan makanan seperti makanan itu."

Mari kita jujur memandang kejadian menakjubkan ini: apakah Aisyah bersalah? Ya, tentu saja salah. Apakah Aisyah menyakiti hati suami? Ya, memang begitu, malah mempermalukan suami di depan tamu-tamunya. Begitulah kira-kira pandangan umum, yang tentunya berkaitan erat dengan subjektifitas masing-masing. Namun, Nabi Muhammad dengan cerdik menata subjektifitas tersebut.




Ketika Maksiat dan Dosa Menjauhkan Kita dari Qiyamul Lail

Sebelumnya

Karena Rasulullah Tak Pernah Melupakan Kebaikan Orang Lain

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Tadabbur