ENAM bulan pandemi, perilaku si abang mulai berubah. Di awal tahun ajaran baru, dia sangat bersemangat saat Zoom karena bisa bertemu teman-teman sekelas. Abang masih suka bersepeda di pagi dan sore hari keliling komplek, lengkap dengan masker dan face shield. Tapi kegiatan fisik itu perlahan-lahan berkurang. Sekarang, dia lebih banyak asyik dengan ponsel. Bermain game roblox atau menonton YouTube channel. Jika ditotal, rasanya dia bisa menghabiskan enam jam lebih menatap layar ponsel!
School from home di masa pandemi Covid-19 memang memudahkan anak (dan juga orang dewasa) untuk kian lekat dengan internet—dengan gawai (gadget). Memang betul, kita memang membutuhkan gadget untuk berinteraksi dengan orang lain dan mencari data yang dibutuhkan untuk tugas sekolah maupun tugas kantor.
Bertambahnya kedekatan anak dengan internet memang terelakkan. Kondisi ini menjadi konsekuensi dari terputusnya interaksi sosial anak, ketidakjelasan tentang back to school, dan tidak diperkenankannya anak keluar rumah untuk melakukan kegiatan luar ruangan. Maka tak heran semakin banyak anak yang menghabiskan waktu menonton streaming channel, aplikasi video, dan bermain game. Orangtua yang juga dilanda stres di masa pandemi umumnya juga melonggarkan peraturan mereka terkait screen time.
Di akhir Juni 2020, survei yang digelar Parents Together membuktikan bahwa digital platform favorit anak-anak adalah YouTube (78,21%), Netflix (49,64%), dan TikTok (33,41%). Rasanya hasil survei tersebut berlaku hampir di seluruh dunia dan tidak hanya melanda anak-anak tapi juga orang dewasa.
World Health Organization (WHO) baru-baru ini bahkan merekomendasikan online video games sebagai satu cara untuk anak bisa beradaptasi dan betah untuk menjalankan segala aktivitas dari rumah. Hal tersebut sangat bertolak belakang dengan klasifikasi resmi WHO tahun 2019 yang menyatakan bahwa kecanduan video game dikategorikan sebagai satu bentuk gangguan mental.
Duh, Bagaimana Mengenalinya?
Kondisi si abang di awal tulisan ini bisa jadi dihadapi banyak ayah bunda sekarang ini. Ya, itu salah satu tanda anak mulai 'gerah' jika tidak memegang gadget.
Tanda lainnya yang tidak boleh diabaikan adalah jika anak sudah menarik diri, yang biasanya suka mengomentari kakak atau adiknya kini memilih diam dan gelisah saat sedang berkumpul di ruang keluarga. Atau dia seringkali makan terburu-buru karena ingin segera membuka layar ponsel.
Tanda lainnya adalah si kecil mulai malas melaksanakan rutinitas hariannya. Malas merapikan tempat tidur, enggan mandi, juga tidak mau menggosok gigi sebelum tidur. Dia seolah tidak peduli dengan dirinya sendiri.
Dan yang sudah sangat mengkhawatirkan adalah ketika dia mulai mengamuk jika tidak diberikan gadget. Dia bisa merebut gadget dari tangan kakak atau adiknya, bahkan tidak ragu mengambil gadget ayah bunda saat dibiarkan tergeletak di meja.
Intensitas vs Aturan Penggunaan Gadget
Salah satu yang harus mendapat perhatian lebih adalah bagaimana interaksi anak dengan layar ponsel. Bisa saja waktunya tidak sampai dua jam, tapi karena intensitasnya tinggi—anak terlibat sangat aktif dan 'terbawa' secara emosional—maka kondisi itu harus segera diredakan.
Jika anak sudah diberikan ponsel sendiri, orangtua sebaiknya menggunakan aplikasi pemantau agar tahu 'interaksi sosial' anak di dunia maya. Orangtua harus tegas tapi tetap bijak untuk menegur anak jika terjadi hal-hal yang kurang baik.
Tegaskanlah bahwa ponsel digunakan untuk menambah pengetahuan, terlebih lagi jika sudah mendapat bantuan kuota pendidikan dari pemerintah. Dorong anak untuk mengakses semaksimal mungkin berbagai platform pendidikan yang tersedia.
Tegaskan pula bahwa ponsel sah-sah saja digunakan untuk interaksi sosial dan membuat content digital asalkan tetap positif, menjaga kesopanan, tidak mengandung hoaks dan unsur SARA. Dengan demikian, kita mengajarkan anak untuk menjadi kreatif tanpa merusak nilai dan aturan yang berlaku.
Jika memang anak masih menggunakan hp bersama (dengan adik/ kakak, atau dengan orangtua), tetapkan langsung pembagian waktunya. Buat kesepakatan bersama dan beri motivasi mereka untuk mematuhinya. Boleh saja menggunakan sistem reward and punishment. Misalnya, ayah bunda bisa memberi hadiah kejutan kepada anak yang paling patuh aturan pembagian screen time setiap dua minggu sekali.
Ada Larangan, Ada Solusi
Orangtua harus kreatif untuk bisa mengisi waktu anak agar otaknya tidak selalu memikirkan gadget.
Pertama, ayah bunda bisa berkoordinasi dengan guru untuk bisa mengatakan pada anak bahwa pukul 07.00 – 13.00 adalah waktu belajar. Walaupun tidak ada online class, anak tetap wajib membuka buku dan mengerjakan tugas.
Saat anak 'bersekolah', simpanlah gadget agar tidak terlihat. Kita juga sebisa mungkin tidak menggunakan gadget untuk sekadar mengecek media sosial. Urusan WFH bisa menggunakan laptop agar anak tahu ayah ibunya sedang bekerja.
Kedua, selepas ishoma, bolehlah memberikan sedikit waktu pada anak untuk memegang gadget. Kita bisa menanyakan pada anak apa yang akan dia lakukan dengan gadget, apakah menonton atau bermain game. Kita harus mengenali tontonan dan game yang dia mainkan. Kita bisa menunjukkan rasa penasaran kita dan meminta waktu untuk duduk di sebelahnya. Dengan begitu kita bisa menganalisis isinya.
Ketiga, di sore hari, usahakan kita memiliki waktu bersama untuk aktivitas gerak tubuh. Kita bisa senam bersama di halaman rumah, atau meniru gerakan senam di YouTube channel yang disambungkan ke tv. Tubuh bergerak, kita pun bisa tertawa bersama. Bermain dengan hewan peliharaan juga bisa dilakukan untuk mengisi waktu sore.
Keempat, malam hari adalah waktu yang tepat untuk ngobrol bareng. Selepas salat Isya berjamaah, kita bisa berbicara dengan anak dari hati ke hati. Kita harus mampu meyakinkan anak bahwa alasan kita melarang mereka terlalu sering menggunakan gadget adalah untuk kebaikan mereka semata. Tidak hanya dapat menimbulkan gangguan mental tapi juga kerusakan mata.
Ayah bunda bisa bertanya apa yang ingin anak-anak lakukan di akhir pekan. Biarkan mereka memilih kegiatan mengasyikkan dengan tetap memerhatikan protokol kesehatan Covid-19. Sesekali membeli mainan baru yang bisa dimainkan bersama juga dapat membuat anak bergembira tanpa terlalu sering melihat layar gadget.
KOMENTAR ANDA