REKAYASA tidak selalu bermakna buruk. Salah satu pengertian rekayasa adalah penerapan kaidah ilmu dalam melaksanakan sesuatu. Maka merekayasa bisa juga dimaknai sebagai cara manusia melakukan sesuatu sesuai pengetahuan dan ilmu yang dimiliki.
Di masa pandemi ini, ada satu rekayasa yang harus kita lakukan untuk memperkuat ketahanan mental kita yaitu merekayasa rasa syukur.
Pandemi telah membalikkan kehidupan manusia menjadi sedemikian berbeda. Karena itu banyak hal yang dulu bagi kita tak bernilai kebaikan kini menjadi sebuah kebajikan. Yang dulu kita anggap kecil, ternyata kini menjadi amat berarti. Yang dulu menjadi ukuran kebebasan, kini menjadi sumber petaka.
Merekaya rasa syukur adalah kemampuan kita untuk tetap bersyukur di kala segala sesuatu bertolak belakang dengan 'standar' kebahagiaan yang sudah kita pegang seumur hidup.
Dulu kita merasa sangat bahagia untuk bepergian bersama keluarga menikmati liburan. Berlibur bersama keluarga tak hanya membuat segar pikiran dan tubuh tapi juga menambah erat keharmonisan keluarga. Kini, traveling menjadi sangat berisiko dan membahayakan karena sulit menghindari kerumunan. Maka kita merekayasa rasa syukur kita dengan mengucap alhamdulillah karena bisa menahan diri untuk tidak keluar dari rumah tanpa alasan urgen.
Dulu kita kerap merasa iri melihat teman yang bekerja di gedung pencakar langit dengan segala hiruk-pikuknya yang modern dan dinamis. Kini, ketika banyak sekali orang di-PHK, kita mesti merekayasa rasa syukur dengan mengucap alhamdulillah karena kita berjualan beras dan sembako di garasi yang kita sulap menjadi warung mungil.
Di banyak negara maju seperti Amerika dan Australia, banyak generasi milenial yang begitu menekankan profesionalisme hingga menjadi too picky dalam memilih pekerjaan. Tapi kini banyak pemuda yang 'terpaksa' merekayasa syukur karena bisa bekerja di kafe kecil yang mulai buka kembali di era new normal, bukan di belakang meja dalam ruang kantor ber-ac seperti yang selama ini memenuhi ekspektasi mereka.
Semua adalah cara kita beradaptasi dengan nilai kehidupan yang baru. Ketika kita mampu merekayasa rasa syukur kita kepada Allah Swt., kita akan lebih mudah untuk bertahan dalam kejenuhan dan kecemasan yang menyiksa.
Ketika kita sebagai manusia dihadapkan pada tanggung jawab yang jauh lebih besar untuk menjaga kesehatan pribadi dan keluarga, kita mempunyai pilihan untuk menaklukkannya atau menyerah. Jika kita tidak mampu merekayasa rasa syukur, kita mengutuk pandemi dan menyalahkan pemerintah lalu memilih untuk masa bodoh. Kita akhirnya melakukan hal-hal yang menyalahi protokol kesehatan. Bahkan dengan sengaja memanas-manasi orang lain seolah mengatakan "Lihat, saya melakukannya tapi sehat-sehat saja."
Maka merekayasa rasa syukur menjadi sangat penting.
Ketika pikiran terasa sumpek di rumah, kita bersyukur bahwa berbagai 'kekacauan' yang terjadi di rumah adalah karena kita semua berkumpul di rumah dalam keadaan sehat. Tentu akan berbeda jika salah satu atau semua anggota keluarga terinfeksi Covid-19.
Apakah masih bisa kita menertawakan pasangan kita yang mengenakan kemeja dan jas plus celana pendek saat online meeting? Apakah masih bisa kita bolak-balik membantu anak mengerjakan tugas proyek sains atau seni budaya? Apakah masih bisa kita bercanda? Apakah masih bisa terdengar suara teriakan adik sambil menggedor pintu kamar mandi meminta kakak segera keluar? Apakah masih bisa kita tertawa melihat anak-anak berebut remote tv atau perang bantal sebelum tidur?
Tanpa kita sadari, keriuhan yang diciptakan pandemi di dalam rumah adalah standar kebahagiaan kita yang baru. Insya Allah itulah tanda bahwa Allah melimpahkan kesehatan kepada kita dan menyediakan jalan untuk menambah kebahagiaan dengan menjadi produktif di rumah.
Anak-anak memang harus belajar dari rumah. Jika dulu para ibu mengeluh panjang lebar tentang PJJ, saatnya ibu merekayasa rasa syukur karena inilah kesempatan terindah dari Allah Swt. untuk lebih mengenal kepribadian si kecil, membantunya untuk lebih percaya diri dalam belajar, dan melatihnya secara langsung-24 jam sehari-untuk menjadi anak yang mandiri, disiplin, dan bahagia.
Tidak ada yang mengatakan merekayasa rasa syukur adalah hal mudah. Tapi tanpa merekayasa rasa syukur, kita akan kesulitan melihat nikmat Allah dari kacamata berbeda. Dan jika kita bersikukuh dengan standar kebahagiaan kita di masa lampau (hari-hari sebelum pandemi), perlahan kita bisa menjadi depresi akibat kufur nikmat. Na'udzubillah.
KOMENTAR ANDA