Bacalah dengan perlahan-lahan, pahami makna dari bacaannya, renungkan hakikatnya dan resapi keindahan salat, sehingga kita ingin berlama-lama menikmatinya/ Net
Bacalah dengan perlahan-lahan, pahami makna dari bacaannya, renungkan hakikatnya dan resapi keindahan salat, sehingga kita ingin berlama-lama menikmatinya/ Net
KOMENTAR

PERNAHKAH mengalami salat yang dikerjakan terasa hampa? Masalahnya, tentu bukan pada salatnya melainnya orang yang menunaikannya. Hanya saja, sungguh besar kerugian bagi mereka yang tidak mendapatkan apa-apa dari salatnya.

Ada anekdot (yang seharusnya tidak lucu); jika kehilangan jarum, maka laksanakanlah salat, niscaya barang yang hilang itu akan ditemukan. Ini lebih tepatnya disebut sindiran, jangan-jangan salat kita selama ini sekadar gerakan-gerakan tanpa hakikat.

Andai dalam salat itu berlangsung perenungan, niscaya kita akan mendapatkan kehidupan yang baik (hayatan thayyibah). Pada kalimat takbir saja, terkandung makna luar biasa. Karena Allahuakbar, artinya Allah Maha Besar, sedangkan maknanya dengan menyebut takbir, tidak ada lagi yang perlu kita takutkan; entah itu atasan, resesi, masalah dan lain-lain.

Karena tidak ada yang mampu menandingi kebesaran atau keagungan Allah. Dari itu renungkanlah hakikat takbir! Tidak pantas kita berharap pada manusia yang lemah, karena ada Allah yang kekuasan-Nya tiada tertandingi.

Pada doa Iftitah di awal salat, ada kalimat inna shalati, wa nusuki , wa mahyaya, wa mamati, lillahi rabbil alamin, artinya, sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.

Apa jadinya kalau kalimat ini direnungkan? Insyaallah, kita akan terbentuk sebagai insan mulia yang berani hidup dan tidak takut mati. Tidak ada persoalan hidup yang akan menciutkan nyali atau membikin gentar.

Ada sebagian manusia yang berani hidup tapi takut mati, padahal mana ada yang abadi. Ada pula manusia yang berani mati karena takut dengan kehidupan, yang mereka ini terkadang memilih bunuh diri begitu menghadapi masalah. Bagi orang yang merenungi salat dengan benar, dan meresapi maknanya, dia menghadapi hidup dan mati sama beraninya.

Dari setiap kata dari bacaan salat mengandung bahan perenungan yang teramat dahsyat, lantas mengapa justru dalam salat pikiran kita mengambang, bahkan melenceng pada hal-hal lain, atau tidak khusyuk yang akhirnya tidak mendapatkan apapun dari ibadah tersebut? Berikut ini beberapa penyebabnya:

Pertama, niat melaksanakannya sekadar pelepas kewajiban alias formalitas belaka. Seketika rukun dan syarat salat selesai ditunaikan, maka legalah hati terlepas dari kewajiban. Kita lupa bahwa salat itu adalah penghubung hamba dengan Tuhan-Nya.

Pada surat al-Ma'un ayat 4 terdapat peringatan kecelakaan bagi orang yang salat.
M. Quraish Shihab pada buku Tafsir Al-Lubab menguraikan, bahwa ayat 4 dan 5 menyatakan: maka kecelakaan besar akan menimpa orang-orang yang hanya melaksanakan bentuk formal dari ibadah salat, yaitu orang-orang yang lalai dari substansi salat mereka.

Kalau hanya formalitas, jika mengabaikan substansinya, bila cuma demi meloloskan diri dari kewajiban, maka kita akan kehilangan manisnya salat. Kita merugi!

Kedua, memang tidak mempunyai keinginan untuk mendapatkan sesuatu dari salat. Ada dua orang yang menyelami dasar lautan; satu orang kembali dengan membawa mutiara, yang satunya lagi pulang dengan tangan hampa, basah kuyup semata.

Apa maksudnya?

Begini.

Karena keinginan mendapatkan sesuatu akan membedakan nasib seseorang.
Dalam sebuah peperangan, panah menancap di pundak Ali bin Abi Thalib. Ketika hendak dicabut, sebagaimana normalnya manusia biasa, dia pun kesakitan. Maka Ali pun mendirikan salat, dan tidak merasakan apa-apa ketika anak panah itu dicabut.

Prof. Dr. Moh. Sholeh pada buku Bertobat Sambil Berobat menerangkan, ketika itu Sayidina Ali mengatakan tidak merasa sakit, di waktu anak panah itu dicabut oleh temannya, saat ia dengan khusyuk menjalankan salatnya. Hasil penemuan ilmiah di bidang fisiologi, yang disebut Gate System Theory membenarkan peristiwa tersebut. Rangsangan rasa sakit dapat dihambat datangnya ke otak melalui proses perangsangan lain, yang di dalam kasus Sayidina Ali adalah kekhusyukan atau kosentrasi dalam salat.

Nah, mungkin berat bagi kita mendapatkan pencapaian hakikat salat seperti yang diraih oleh Ali bin Abi Thalib tersebut. Tetapi dengan merenungkan maknanya, maka dari salat kita akan memperoleh banyak hal berharga, utamanya bagi kekuatan hati.   

Ketiga, tidak memahami arti dan makna setiap bacaan shalat. Agak sulit bagi kita menemukan makna yang dapat direnungkan, apabila tidak paham apa yang diucapkan. Maka, pentinglah mempelajari arti bacaan shalat dan lebih penting lagi memahami maknanya. Kita tahu allahuakbar artinya Allah Maha Besar, tapi tahukah makna kebesaran Allah itu?

Apabila hakikat makna Allahuakbar dapat dipahami, diresapi dan direnungkan, maka sehabis melaksanakan salat kita akan menatap dunia dengan penuh cinta.

Sebelum dilantik menjadi utusan Allah, Nabi Muhammad melakukan tahannuts di gua Hira, beliau merenungkan hakikat kehidupan. Maka turunlah tuntunan salat sehingga padanya kita dapat merenung dan memetik saripatinya. Merenung itu bagian dari ibadah. Dengan demikian, dengan salat yang kita tegakkan akan lebih membesar pahalanya.

Dari itu, hindarilah tergesa-gesa dalam mengerjakan salat. Bacalah dengan perlahan-lahan, pahami makna dari bacaannya, renungkan hakikatnya dan resapi keindahan salat, sehingga kita ingin berlama-lama menikmatinya. Kita akan merindukan salat, melebihi rindu kepada kekasih.      

 




Hubbu Syahwat

Sebelumnya

Bukankah Aku Ini Tuhanmu?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Tadabbur