Ilustrasi/ Net
Ilustrasi/ Net
KOMENTAR

LAKUM diinukum wa liya diin. Untukmu agamamu, untukku agamaku. Bagimu balasanmu, bagiku balasanku.

Ayat ke-6 surah Al Kafirun tersebut adalah prinsip akidah seorang Muslim. Keimanan kita mestinya terbebas dari gangguan yang mengaburkan tujuan kita meraih ridha Allah untuk masuk ke surgaNya. Namun apa daya, tipu muslihat dunia kerap memperdaya dan melemahkan keteguhan iman kita.

Batasan lakum diinukum wa liya diin sejatinya tampak jelas namun kerap disamarkan dengan dalih kemanusiaan dan toleransi. Bertoleransi pada hakikatnya adalah saling menghargai dan tidak merugikan pihak lain yang berseberangan dengan kita. Namun bukan berarti mengikuti dan meniru apa yang dilakukan umat lain hingga tanpa sadar menggeroti keimanan kita.
 
Karena itulah lakum diinukum wa liya diin juga tidak mengizinkan kita menjadi ‘hakim’ atas urusan orang lain. Kalimat “untukmu agamamu, untukku agamaku” tidak serta merta menjadikan kita bebas menjudge dan membully orang lain yang tidak satu jalan dengan kita. Terlebih lagi jika orang tersebut sama-sama Muslim.

Ada kisah Dina Tokio dan Ascia AKF, dua Muslimah berhijab yang dulu begitu digilai para hijabers karena penampilan modest mereka yang super modis. Tapi menurut pengakuan keduanya, entah mengapa selalu saja ada yang berkomentar pedas tentang gaya fesyen mereka.

Padahal, kedua gadis cantik itu mengaku bahwa mereka hanya ingin bereksperimen dengan berbagai style yang menyenangkan. Tidak kuat menerima berbagai hujatan, keduanya kini melepas hijab. Bahkan Dina Tokio menyebut komunitas hijabers sebagai toxic.

Menyimak kisah dua selebgram asal Inggris dan Kuwait tersebut, kita melihat bahwa kebrutalan seseorang menjelek-jelekkan orang lain ternyata bisa sangat memengaruhi psikologi orang yang dituju. Mereka menjadi tidak percaya diri, kehilangan orientasi hidup, juga menjadi ragu untuk mempertahankan idealisme dan impian mereka.

Kita mungkin menyayangkan langkah yang diambil Dina dan Ascia namun kita tetap wajib menghargai keputusan mereka. Jangan ragu mendoakan mereka agar tetap istiqamah dalam Islam.

Di media sosial juga sedang ramai dibicarakan pengakuan seorang figur publik laki-laki yang memutuskan menjadi transgender. Pengakuan tersebut sebenarnya tidak terlalu mengejutkan mengingat sosoknya telah tampil feminin sejak bertahun-tahun silam. Ia mengaku bersyukur bahwa keluarga terdekat merupakan open minded people yang akhirnya bisa menerima dan mensupport pilihan hidupnya.

Jika berbicara tentang rasa sebagai sesama manusia, sulit untuk tidak terenyuh mendengar bagaimana dia berjuang memahami siapa dirinya sepanjang hidupnya. Bagaimana dia kebingungan karena berbeda, bagaimana sakit hatinya ketika orang memandang aneh penampilannya, juga bagaimana keberaniannya mengikuti ‘takdir’.

Lakum diinukum wa liya diin. Menghargai pendapat orang bukan berarti hati kita menyetujui tindakannya. Jika memang orang tersebut bukan seorang Muslim, tak perlu juga kita menghujat dan menghinanya. Boleh saja kita menyampaikan kebenaran, tapi tetap kita tidak bisa memaksakannya. Yang terpenting adalah menjaga keimanan dan keislaman kita agar lurus di jalan Allah. Jangan sampai akidah ternodai oleh pikiran kita yang memihak kemunkaran dan kebatilan.

Dalam ayat 41 surah Yunus, Allah berfirman “Kamu berlepas diri terhadap apa yang aku kerjakan dan aku pun berlepas diri terhadap apa yang kamu kerjakan.”

Sebagai Muslim, berdakwah adalah kewajiban kita. Dakwah terbaik kita adalah melalui perbuatan dan perkataan yang mulia. Meskipun mungkin mereka yang berpikiran terbuka lebih mengagungkan akal daripada ajaran agama, kita tidak memikul tanggung jawab atas perbuatan mereka yang melenceng dari Islam. Siapa menabur angin akan menuai badai. Mereka yang berbuat, merekalah yang mendapat balasannya kelak. Maka tak perlulah kita menjadi ‘hakim’ kejam yang menghakimi orang lain dengan membabi-buta.

Bahkan dalam sebuah hadis riwayat Muslim, Rasulullah pernah menceritakan tentang seorang perempuan pezina yang diampuni dosanya karena memberi minum anjing yang kehausan di siang terik.Ia diampuni bukan karena taubatnya melainkan karena memberi minum hewan tersebut.

Maka terhadap seorang Muslim yang berbuat dosa besar, tidak perlulah kita melabelinya dengan sebutan kafir karena bisa jadi Allah Swt. mengampuninya karena perbuatan baik yang tidak terlihat mata kita. Demikian pula ketika ada umat lain yang berbuat di luar batas, cukuplah lakum dinukum wa liya diin.

 




Hubbu Syahwat

Sebelumnya

Bukankah Aku Ini Tuhanmu?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Tadabbur