Ilustrasi/ Net
Ilustrasi/ Net
KOMENTAR

HATI jutaan rakyat Venezuela teriris-iris menyaksikan Presiden Nicolas Maduro beserta istri menyayat steak mahal di restoran mewah Salt Bae, Istanbul, Turki. Pemandangan itu terasa amat memilukan karena jutaan rakyat Venezuela kelaparan dan hampir dua juta orang kabur dari negaranya karena tidak sanggup memikul krisis yang teramat parah. Coba bayangkan, manusia jenis apa di Venezuela yang mampu membeli 1 kg beras dengan harga 2,5 juta Bolivar!

Rakyat Venezuela akan makin hancur hatinya, tatkala menyimak kejadian yang dialami oleh Nabi Muhammad berikut ini:
Dari Aisyah, dia berkata, “Keluarga Nabi Muhammad tidak pernah kenyang dari roti gandum dalam dua hari berturut-turut sampai beliau wafat.” (Hadis riwayat Muttafaq alaih)

Roti gandum hanyalah makanan pokok masyarakat Arab ketika itu. Artinya, keluarga Nabi Muhammad menyantap menu yang sama saja dengan rakyat jelata. Kedudukan sebagai pemimpin negara bahkan posisi agung selaku nabi utusan Allah tidak membuat keluarga beliau menikmati menu-menu spesial yang lebih tinggi kualitasnya dibandingkan dengan rakyat biasa.

Saat usia beliau mulai menapaki masa senja, tidak ada juga menu-menu istimewa di setiap acara bersantap keluarganya. Dan makanan pokok yang bernama roti gandum itu disantap beliau bersama keluarganya tidak sampai pada kondisi perut kenyang.
 
Sebelum masa-masa krisis menimpa kaum muslimin, maka keluarga Rasulullah terlebih dahulu merasakan keprihatinannya. Masa-masa berat itu menjadi menu pendahuluan bagi sang pemimpin revolusi Islam sedunia.

Urwah berkesempatan mengunjungi bibinya, yakni Aisyah, yang juga istri Rasulullah. Pada kesempatan itu Aisyah berkata, “Wahai keponakanku, demi Allah sesungguhnya kami pernah melihat bulan sabit tiga kali berturut-turut, sedangkan di rumah Rasulullah tidak pernah ada api yang menyala.”

Urwah bertanya, “Wahai Bibi, jadi apa yang Bibi makan?”
Aisyah menjawab, “Kurma dan air. Namun Rasulullah memiliki tetangga Anshar yang sangat baik. Mereka punya ternak perahan dan sering mengantarkan susunya, sehingga kami bisa meminumnya.” (Hadis riwayat Muttafaq alaih)

Marilah sama-sama kita cari, siapakah raja, kaisar, kisra, perdana mentri, atau presiden yang di kediamannya tidak punya bahan makanan untuk dimasak? Dan siapa pula di antara para pemimpin itu yang pernah mengganjal perut keluarganya hanya dengan buah kurma dan air selama tiga bulan nonstop? Kejadian yang perih terdengar itu justru dialami oleh habibullah (kekasih Allah), Nabi Muhammad.

Dengan status kekasih Allah, apapun permintaan Rasulullah tentunya lekas dikabulkan Tuhan. Namun, manusia suci itu tidak meminta apapun. Beliau mencetak dirinya dan keluarganya menjadi hamba Allah yang bermental tangguh, pantang menyerah mengarungi badai krisis.

Dari dua hadis di atas, dua-duanya disampaikan oleh Aisyah. Tidak ada penyesalan atau kemarahan dari tuturan istri Rasulullah tersebut. Masa-masa krisis yang amat berat tersebut berhasil menciptakan pribadi tangguh, yang ikhlas menerima takdir. Apabila Nabi Muhammad sangat tangguh, banyak orang beralasan karena beliau memang manusia pilihan. Lantas, bagaimana dengan Aisyah beserta istri-istri dan anak-anak Rasulullah yang semuanya manusia biasa?

Kuncinya, rumah tangga yang kuat adalah yang mampu mentarbiyah atau mendidik seluruh anggotanya dalam membangun kepribadian yang tangguh. Sejak awal perlu disadari, pernikahan itu sendiri bukanlah perjalanan yang bertabur bunga, melainkan jalur terjal yang bertabur duri dan kobaran api.

Sejumlah rumah tangga bubar karena penghuninya tidak kuat menjalani konsekuensi pernikahan yang demikian berat. Di masa-masa normal saja, setiap rumah tangga akan mengalami masa-masa sulit, apalagi kalau yang datang itu krisis besar, betapa kerasnya ujian terhadap ketangguhan keluarga itu.

Maka pondasi yang kokoh akan menentukan level ketangguhan sebuah rumah tangga dalam melalui masa krisis. Makanya, dalam kitab-kitab hadis senantiasa dibuka dengan pembahasan hadis mengenai niat.

Sekilas niat itu terkesan amat abstrak, siapa sih yang dapat melihat sesuatu yang terpancang di hati? Namun, niat itu pondasi yang tangguh dalam membangun sebuah rumah tangga.

Dahulu, niat menikahnya buat apa? Kalau niatnya dulu demi kecantikan, kekayaan, ketenaran dan sebagainya, maka rumah tangga akan bubar tatkala kehilangan itu semua. Lain halnya jika yang dipancang itu niat karena Allah, maka Allah itu abadi selamanya, sehingga rumah tangga akan tetap kukuh tegak di atas pondasi yang benar dan kuat tersebut.

Kini, bukan hanya Indonesia, melainkan seluruh negara di dunia ini mengalami krisis terhebat. Sutradara Hollywood yang paling edan pun tidak akan pernah terbersit ide membuat film dimana seluruh dunia dibuat lumpuh oleh musuh yang tak terlihat macam ini. Imbasnya, ekonomi langsung porak-poranda, seperti yang digambarkan oleh Mentri Keuangan Republik Indonesia, Sri Mulyani berkata, “Covid mematahkan seluruh fondasi ekonomi di seluruh negara.”

Apabila fondasi ekonomi terlanjur patah, maka janganlah sampai krisis ini berujung pada bubarnya rumah tangga. Memang butuh waktu lama memulihkan fondasi ekonomi, tetapi tidak perlu berlama-lama memulihkan fondasi rumah tangga. Kita tinggal memasang ulang niat yang benar dalam pernikahan, yakni demi Allah semata. Sehingga sepahit apapun krisis tidak akan mematahkan keyakinan kita dalam mempertahankan rumah tangga.

Selalu ada hikmah di balik musibah. Kemudian, mulai tersiar kabar-kabar mengharukan di balik berita-berita ngeri krisis ini. Kabar itu tentang suami atau istri yang mulai mengamalkan pola hidup sederhana dan lebih pandai bersyukur, tentang anak-anak yang menghentikan gaya hidup konsumtif dan hedonis, mengenai maraknya semangat filantropi atau kemauan berbagi dengan tetangga atau lingkungan sekitar, utamanya mereka yang terdampak dari krisis.

Tidak semua keluarga hancur ekonominya, tidak seluruh orang mengalami sakitnya kelaparan. Tetapi, ketangguhan itu juga tampak dari kesediaan diri kita berbagi. Apalagi kini, sumbangan sepiring nasi, secangkir beras dapat menyelamatkan nyawa manusia.

Di setiap zaman memang berbeda-beda krisisnya. Krisis ekonomi dan kelaparan parah juga terjadi di pemerintahan Umar bin Khattab, dan rakyat menyaksikan tubuh Khalifah Umar bagaikan pohon yang kering kerontang. Belum ada ahli yang mampu memprediksi kapan masa-masa krisis ini akan berakhir. Namun yang pasti kita akan selalu siap menghadapinya tatkala telah menjadi hamba Allah yang tangguh.




Bukankah Aku Ini Tuhanmu?

Sebelumnya

Ya Allah, Aku Belum Pernah Kecewa dalam Berdoa

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Tadabbur