Ilustrasi/ Net
Ilustrasi/ Net
KOMENTAR

ADA satu istilah baru yang mencuat di media belakangan ini: Covidiot.

Menurut Urban Dictionary, Covidiot berarti “someone who ignores the warnings regarding public health or safety”. Istilah Covidiot alias Covid idiot ini muncul di masa pandemi Covid-19 yang melanda dunia, mendeskripsikan seseorang yang menabrak aturan social distancing dan lockdown.

Di Amerika Serikat, beberapa figur publik sudah dicap Covidiot oleh masyarakat karena tindakan egois mereka yaitu keluar rumah tanpa alasan urgen. Namun begitu, rasanya tak ada orang yang lebih membuat geram para Gubernur Negara Bagian selain presiden mereka sendiri, Donald Trump.

Dengan dalih bahwa Amerika telah melewati masa puncak pandemi, Trump memihak para pendemo yang menuntut penghapusan lockdown. Demo anti-lockdown tersebut membawa misi “liberate” alias menuntut kebebasan. Bebas berkumpul, bebas bepergian, dan terutama bebas bekerja. Para pendemo khawatir dampak ekonomi akan menghantam kehidupan mereka jika lockdown secara ketat terlalu lama diberlakukan.

Kini, mari menengok kondisi negeri sendiri.

Di negara kita, bisa dibilang tak ada pendemo anti-lockdown yang bergerak sistematis untuk menuntut kebebasan. Tapi untuk urusan Covidiot, ternyata cukup banyak bisa kita temui.

Banyak Covidiot yang masih seenaknya berjalan-jalan, berkumpul dengan teman-teman untuk ngobrol ngalor-ngidul, atau memaksa makan di restoran yang sebetulnya hanya membolehkan pesan antar.

Di saat banyak dari kita berjuang untuk mengatasi rasa jenuh karena harus #dirumahaja, di saat para dokter, perawat, dan petugas medis berjuang keras mengobati para pasien terinfeksi Covid-19, di saat para pencari nafkah yang tidak bisa melaksanakan work from home harus keluar rumah untuk menafkahi keluarga, Covidiot justru berada di pihak yang berseberangan.

Ditambah lagi, di tengah angka penyebaran Covid-19 yang masih terus bertambah, banyak orang bersikukuh mudik. Berbagai cara ditempuh meskipun harus melawan hukum. Entah apa yang berkecamuk di benak mereka hingga tidak bisa menahan diri untuk tidak melakukan hal yang berpotensi merugikan orang lain.

Pandemi corona memang menjadi ujian kesabaran bagi umat manusia. Nurani kita diuji, apakah kita dapat mengutamakan kepentingan bersama dibandingkan keinginan diri sendiri. Bagaimana kita dituntut mengorbankan kehidupan sosial demi keberlangsungan hidup manusia di muka bumi.

Seperti diungkapkan Aa Gym saat melakukan teleconference dengan Sandiaga Uno pada 14 April lalu, setidaknya ada dua hikmah yang bisa kita rasakan di saat pandemi.

Yang pertama adalah kita diberi kesempatan oleh Allah untuk menikmati berbagai nikmat yang selama ini terlupakan gegara kesibukan yang begitu menyita waktu. Tidak hanya bisa berkumpul bersama keluarga 24 jam sehari, tetapi juga kesempatan untuk menambah ilmu dan pengetahuan karena kita memiliki waktu luang yang melimpah.

Yang kedua adalah kesempatan untuk belajar menerima takdir Allah dengan ikhlas. Pandemi terasa menyiksa bagi mereka yang tidak mau menerima kenyataan. Siapa yang ridha dengan episode yang tengah dijalani, maka insya Allah akan diberi kelapangan meski harus ‘terpenjara’ di rumah dan diuji dalam urusan finansial.

Jadi, jika ada yang memilih menjadi Covidiot, maka dia berpaling dari hikmah yang Allah ulurkan. Berpaling dari nikmatNya yang terbentang di depan mata. Berpaling dari nurani yang bisa menyelamatkan umat manusia. Naudzubillah.

 

 

 

 




Ya Allah, Aku Belum Pernah Kecewa dalam Berdoa

Sebelumnya

Menyambungkan Jiwa dengan Al-Qur’an

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Tadabbur