KOMENTAR

"BERAPA yang akan mati?"

"Sekitar 150 orang."

Lalu Presiden Amerika itu, Donald Trump itu, berpikir. Hanya satu detik. Untuk membuat putusan itu: membatalkan serangan ke Iran.

Waktu itu, Jumat kemarin, tentara Amerika sudah siap berangkat. Persiapan sudah matang. Sudah ditentukan obyek vital pertahanan Iran mana saja yang akan diserang. Dengan cara Amerika. Dari jauh.

Saat keputusan 'batal' itu diambil waktunya tinggal 10 menit.

Kalau putusan itu tidak diambil dalam 30 menit itu 150 orang meninggal. Begitulah dialog antara Trump dan jenderal-jenderalnya.

Saat serangan itu dilakukan tentu para jendral masih di ruang operasi. Bersama presiden. Dan mereka akan langsung melihat kematian itu.

"Apakah proporsional?" kata Trump di ruang itu.

Yang mereka tembak jatuh hanya drone. Yang tidak berawak dan tidak dipersenjatai. Begitu kata Trump. Seperti diberitakan New York Times.

Drone yang dijatuhkan Iran memang bukan sembarang drone. Ukurannya mirip pesawat 737 Boeing. Sayapnya juga selebar itu. Beratnya 16 ton. Seberat 17 kontainer yang mengangkut terigu.

Isi drone itu peralatan mata-mata. Ada infrared, termal emaging dan banyak lagi. Satu drone seisinya bernilai Rp 3 triliun.

Drone itu dibuat oleh perusahaan swasta Northrup Grumman. Pabriknya di Virginia. Yang omsetnya Rp 500 triliun. Labanya tahun 2018 Rp 50 triliun. Itu perusahaan raksasa. Terbesar ke 118 di Amerika.

Kemampuan terbangnya bisa 36 jam terus-menerus. Dengan jarak tempuh 12.000 km. Sudah tidak ada bedanya dengan Boeing 737 --beberapa hal melebihi.

Dari gambaran di ruang operasi itu Trump terlihat sosok yang 'in command'. Ia bisa tampil sebagai panglima tertinggi. Punya prinsip. Apa pun itu. Punya otoritas yang kuat --dan ia menggunakan otoritas itu. Punya bekal kemandiriannya yang otoritative --tidak mudah dipengaruhi jenderal-jenderalnya. Atau penasihat politiknya. Dengan risiko lingkaran terdekatnya kecewa.

Di sekitar Trump memang ada pecandu perang.

Ada yang spesialis ingin perang dengan Iran. Ada yang spesialis Tiongkok. Ada yang spesialis Korea Utara.

Kelompok ini tentu akan terus cari alasan agar Trump mau menyerang. Kalau perlu alasan itu dibuat.

Soal drone itu misalnya. Kemampuan terbangnya bisa 60.000 feet. Dua kali lebih tinggi dari Boeing 737. Setinggi kemampuan pesawat Concorde. Tapi drone Amerika hari itu terbang begitu rendah. Apa maksudnya?

Iran menafsirkan itu sebagai provokasi. Dan Iran menyiarkan secara terbuka koordinat posisi drone saat ditembak jatuh: di perairan pantai Iran. Amerika mengatakan drone itu masih di perairan internasional di selat Hormuz.

"Sebetulnya drone itu dikawal pesawat militer," ujar pejabat pertahanan Iran. "Namun kami hanya menembak jatuh dronenya," tambahnya. "Kami tidak mau perang, meski kami siap untuk mempertahankan diri. Kami sudah melayangkan protes ke Amerika lewat Swiss," tambahnya.

Memang Swiss-lah yang mendapat mandat dari Amerika. Untuk mewakili kepentingannya dengan Iran. Sampai hari ini Iran masih tidak mau melakukan kontak langsung dengan Amerika.

Adakah kini Iran sudah kebal provokasi? Tidak mudah lagi terpancing? Bahkan tidak perlu lagi demo-demo 'ganyang Amerika'?

Sebaliknya Trump. Ia terus mengulangi pernyataannya. Tidak ingin perang dengan Iran. Tapi Trump akan terus menekan Iran. Melalui sanksi ekonomi. Dan sanksi itu akan terus diperberat. Setiap bulan.

Di Washington memang ada juga aliran ini: fokus Amerika harus ke Tiongkok. Menyerang Iran hanya akan menguntungkan Tiongkok. Padahal kawasan timur Asia itu juga lagi 'mendidih'. Xi Jinping lagi sangat mesra dengan Vladimir Putin. Juga dengan Kim Jong-Un.




Ji Chang-wook Gelar Fansign di Jakarta 12 Mei Mendatang, Siap Suguhkan Pengalaman Istimewa bagi Para Penggemar

Sebelumnya

Cerita Pengalaman Vloger asal China Menginap di Hotel Super Murah Hemat Bajet

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Disway