HASIL riset NEXT Indonesia Center menemukan adanya dugaan praktik manipulasi faktur dari transaksi impor atau trade misinvoicing senilai US$720 miliar sepanjang periode 2014-2023. Nilai itu setara dengan Rp10.080 triliun, berdasarkan rata-rata kurs tengah Bank Indonesia sepanjang periode observasi yang mencapai Rp14.000 per dolar Amerika Serikat (AS).
Peneliti NEXT Indonesia Center Sandy Pramuji menjelaskan, trade misinvoicing adalah perbedaan pencatatan nilai ekspor-impor antara dua negara mitra dagang. Dalam kasus impor misalnya, kasus itu bisa terjadi melalui praktik under-invoicing (nilai impor dilaporkan lebih rendah dari catatan ekspor di negara asal produk) maupun over-invoicing (nilai impor dilaporkan lebih tinggi dari catatan ekspor di negara asal produk).
“Praktik trade misinvoicing dalam impor ini salah satu bentuk dari aliran dana haram (illicit financial flow, IFF), yang berpotensi menyebabkan hilangnya penerimaan pajak dalam jumlah sangat besar,” ungkap Sandy dalam keterangan yang diterima Farah.id di Jakarta (30/9).
Lebih lanjut dia mengungkapkan, dari hasil data UN Comtrade periode 2014–2023, nilai misinvoicing impor Indonesia mencapai US$720 miliar atau setara dengan Rp10.080 triliun. Konversi tersebut menggunakan rata-rata kurs tengah Bank Indonesia sepanjang periode observasi, Rp14.000 per dolar AS.
Sandy menegaskan, misinvoicing impor, terutama under-invoicing, langsung menggerus potensi penerimaan negara dari bea masuk, Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan Pajak Penghasilan (PPh). Dari dua komoditas saja—telepon pintar (HS 8517) dan minyak olahan (HS 2710)—negara berpotensi kehilangan lebih dari Rp80 triliun pajak dalam satu dekade.
“Angka ini bahkan lebih besar daripada Rp60 triliun yang tengah coba ditagih pemerintah dari penunggak pajak dalam negeri,” kata Sandy.
Berdasarkan regulasi, PPN impor ditetapkan sebesar 11% dari nilai pabean sesuai Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 131/2024 yang mengatur tentang PPN atas barang kena pajak. Sedangkan PPh Pasal 22 untuk komoditas telepon dan smartphone (HS 8517) ditetapkan 10% berdasarkan PMK No. 41/2022 yang mengatur pembayaran atas pajak penyerahan barang impor.
Sementara sebagian besar komoditas minyak olahan (HS 2710) tidak termasuk objek PPh Pasal 22, sehingga hanya dikenakan PPN. Perhitungan ini menunjukkan potensi kehilangan pajak sebesar Rp64,4 triliun dari HS 8517 dan Rp17,7 triliun dari HS 2710 dalam kurun sepuluh tahun terakhir.
Sebagian Besar dari Singapura dan Tiongkok
Sepanjang 10 tahun terakhir, yakni 2014-2023, praktik under-invoicing terbesar tercatat pada impor dari Singapura (US$139,3 miliar), Tiongkok (US$96,3 miliar), dan Hong Kong (US$15,4 miliar). Sementara itu, over-invoicing impor terbesar ditemukan dalam perdagangan dengan Tiongkok (US$45,8 miliar), Arab Saudi (US$36,9 miliar), dan Amerika Serikat (US$18,2 miliar).
Dari sisi komoditas, Sandy Pramuji mengungkapkan, yang paling rawan terjadi misinvoicing, antara lain smartphone (HS 8517), minyak olahan (HS 2710), sirkuit elektronik (HS 8542), emas setengah jadi (HS 7108), dan pesawat terbang (HS 8802). Potensi kehilangan pajak pada produk-produk tersebut mencapai puluhan triliun rupiah setiap tahun.
Praktik curang dalam pencatatan faktur ini identik dengan perdagangan ilegal, penghindaran pajak (tax avoidance), penggelapan pajak (tax evasion), penyelundupan barang, juga penyembunyian dana hasil kejahatan supaya tidak terdeteksi, alias pencucian uang (money laundering). Praktik ini sering kali bersembunyi di balik transaksi perdagangan atau investasi yang sah, sehingga sulit untuk dilacak dan diukur.
“Mencegah misinvoicing impor bukan hanya soal pajak, tapi juga soal menjaga kedaulatan fiskal, stabilitas ekonomi, dan persaingan usaha yang sehat. Pemerintah perlu memperkuat kapasitas bea cukai dan otoritas pajak, mempercepat digitalisasi pabean, meningkatkan audit berbasis risiko, serta memperluas kerja sama internasional,” tambah Sandy.
Dia juga mengingatkan bahwa praktik trade misinvoicing tidak boleh dianggap remeh. Tanpa langkah tegas dan sistematis, kebocoran penerimaan negara akan terus terjadi, melemahkan daya saing ekonomi nasional, dan menggerogoti ruang fiskal yang seharusnya digunakan untuk pembangunan.
KOMENTAR ANDA