KOMENTAR

DALAM pergaulan keseharian pun, kita dapat dengan mudah menemukan orang yang maunya untung sendiri saja. Kalau ada untungnya mau ikut bergabung, tapi giliran tidak ada laba, dirinya pun menjauh. Janganlah terlalu heran, sebab orang macam ini dalam beragama pun memakai sikap yang demikian picik.

Pada zaman dahulu kala, anak laki-laki dipandang sebagai berkah oleh masyarakat jahiliah. Karena itulah kegembiraan mereka seperti meluap-luap jika istrinya melahirkan putra. Bahkan, dia sampai memuji Islam sebagai agama yang baik tatkala memperoleh anugerah anak laki-laki.

Lain ceritanya saat sang istri melahirkan anak perempuan, maka gelap gulitalah wajah sang suami. Dia menahan malu dan marah yang luar biasa. Saking geramnya, bahkan istri pun disalahkan.

Pada masa jahiliah itu, lelaki tersebut bahkan menyalahkan agama Islam disebabkan istrinya belum juga memberikan keturunan. Tidak tanggung-tanggung, dia pun menyalahkan Islam ketika kudanya tidak beranak-pinak. Bahkan dia tega mengatakan Islam sebagai agama yang pembawa sial.

Perilaku begini dipentaskan oleh orang yang hanya beragama dengan cara yang dangkal. Mereka tidak memiliki keseriusan dalam menjalankan ajaran agama secara sepenuhnya. Mereka berpikir bahwa agama hanya merupakan alat untuk mencapai keuntungan materi atau kesenangan duniawi. Sehingga ketika segala sesuatunya berjalan baik dan mendapatkan kebaikan, mereka merasa tenang.

Namun, ketika dihadapkan pada cobaan atau kesulitan hidup, mereka dengan cepat berbalik dan meninggalkan keyakinan. Mereka kembali kepada kekufuran dan meninggalkan praktik-praktik agama yang sebelumnya mereka lakukan. Akibatnya, mereka menderita kerugian baik di dunia maupun di akhirat.

SuraH al-Hajj ayat 11, yang artinya, “Di antara manusia ada yang menyembah Allah hanya di tepi (tidak dengan penuh keyakinan). Jika memperoleh kebaikan, dia pun tenang. Akan tetapi, jika ditimpa suatu cobaan, dia berbalik ke belakang (kembali kufur). Dia merugi di dunia dan akhirat. Itulah kerugian yang nyata.

Hamka pada Tafsir al-Azhar Jilid 6 (2020: 107) menjelaskan:

Ibnu Katsir menafsirkan bahwa dia masuk ke dalam agama Allah di tepi-tepi saja. Kalau dia ketemu yang menyenangkan hatinya, dia tetap beragama. Tetapi jika bertemu yang membuatnya susah, dia mengeluh-ngeluh, menyesal-nyesal.

Al-Bukhari meriwayatkan suatu tafsiran Ibnu Abbas yang disampaikan oleh Said bin Jubair, tentang tafsir ayat ini. Ada orang datang ke Madinah menyerahkan diri jadi penganut Islam. Kalau istrinya melahirkan seorang anak laki-laki dan kudanya beranak pula dia pun berkata, “Islam ini memang agama yang baik sekali. Tetapi istrinya tidak juga melahirkan anak dan kudanya pun tidak mengandung, dia pun berkata, “Ini agama sial.”

Peristiwa ini menggambarkan reaksi emosional seseorang terhadap peristiwa dalam hidupnya yang berkaitan dengan keyakinan agama. Ketika segala sesuatunya berjalan sesuai harapan, dia merasa bahwa Islam adalah agama yang indah dan sempurna. Namun, ketika menghadapi kesulitan atau kegagalan, dia merasa kecewa dan meragukan kebenaran agama tersebut.

Penting untuk diingat bahwa keyakinan dalam agama tidak boleh hanya bergantung pada kejadian atau peristiwa di dunia ini. Agama Islam mengajarkan bahwa kehidupan di dunia ini penuh dengan ujian dan cobaan, serta ada hikmah dan rencana yang lebih besar di balik setiap peristiwa. Kesabaran, ketekunan, dan keteguhan dalam iman adalah hal-hal yang diajarkan dalam Islam untuk menghadapi berbagai situasi dalam hidup.

Sebagai seorang muslim, penting untuk menjaga kestabilan iman dan tidak tergantung pada keadaan eksternal. Agama Islam memiliki ajaran dan nilai-nilai yang mengarahkan kita untuk menghadapi hidup dengan sikap positif, kesabaran, dan tawakal kepada Allah dalam segala hal.

Hamka (2020: 108) mengungkapkan: 

Abdurrahman bin Yazid bin Aslam menafsirkan, itulah orang-orang munafik. Kalau karena beragama ini menjadi subur keduniaannya, banyak keuntungannya, tekunlah dia beribadah. Tetapi jika dunianya menurun, susah hidupnya, mukanya pun dipalingkannya.

Sebab itu kalau dia beribadah, hanyalah semata-mata mengharap laba dunia, tetapi kalau cobaan datang, malang menimpa, gelap dan bertemu jalan sempit, agama itu ditinggalkannya dan dia kafir kembali.

Mujahid menjelaskan, “Dia berpaling atas mukanya,” itu ialah dia pun murtad menjadi kafir. “Rugilah dia di dunia dan di akhirat.”

Kerugian di dunia ialah karena umur yang habis tidak menentu. Sehari lahir ke dunia, mulailah umur kurang satu hari. Disangka umur panjang, padahal bertambah banyak yang telah dipakai, bertambah sedikitlah yang tersisa. Dan kalau di dunia telah kosong tidak berisi, apakah yang akan dapat diperhitungkan di akhirat?

 Sebab sesampai di akhirat orang yang seperti itu tidak ada harganya lagi. Tidak ada amal yang akan diperhitungkan. Zaman yang telah dilampaui tidak dapat diulang lagi.

Penafsiran ini menggarisbawahi perilaku munafik yang hanya beragama dengan motif yang tidak tulus, yaitu semata-mata mencari keuntungan dan kenikmatan materi. Ketika kehidupan mereka tidak sesuai harapan, mereka menyalahkan agama dan meninggalkannya dengan cepat.

Namun, dalam ajaran agama Islam, kesetiaan dan keteguhan dalam iman adalah hal yang ditekankan. Seorang muslim harus mengikuti agama dengan penuh kesadaran, kesabaran, dan ketulusan, baik dalam keadaan baik maupun buruk.

Saripati utama dari surat al-Hajj ayat 11 adalah sindiran Al-Qur’an terhadap orang-orang yang menyembah Allah hanya di tepi, atau tidak pernah optimal, maksudnya (tidak dengan sepenuh keyakinan). Bagi mereka beragama tidak pernah setulus hati, melainkan atas hitungan untung rugi. Manusia macam beginilah yang merugi di dunia dan akhirat.

Karena agama tidak boleh dianggap sebagai alat untuk mencapai keuntungan duniawi semata. Tetapi sebagai pedoman hidup yang memberikan petunjuk moral dan spiritual yang kokoh.

Dalam menghadapi cobaan dan kesulitan, seorang muslim seharusnya meningkatkan keteguhan imannya. Hendaknya dia memohon pertolongan Allah, dan tetap teguh dalam menjalankan agama.




Assalamualaikum dan Semangat Mulia yang Menaunginya

Sebelumnya

Tafsir Keadilan Gender di Antara Mukmin Perempuan dan Mukmin Laki-laki

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Tafsir