KOMENTAR

PARA sejarawan Barat membuat berbagai analisis tentang hijrah dan perannya sebagai momentum terbentuknya negara Islam. Karena justru setelah hijrah yang demikian heroik, perjalanan Islam semakin ciamik, seperti menemukan titik balik kejayaannya.

Fred McGraw Donner dalam bukunya Muhammad dan Umat Beriman Asal-Usul Islam (2015: 47-48) mengungkapkan:

Hijrah Nabi Muhammad ke Madinah, karena dianggap sebagai mulai terwujudnya komunitas umat beriman yang independen secara politik, diadopsi dalam beberapa tahun setelah wafat Nabi Muhammad sebagai tanda awalnya kalender Islam (1 Hijrah).

Orang-orang yang berhijrah dengan Nabi Muhammad disebut dengan Muhajirin “imigran” sementara orang-orang Madinah yang menerima mereka kemudian dikenal dengan nama Anshar, “penolong”.

Sumber-sumber tradisional juga menekankan pendirian komunitas independen oleh Nabi Muhammad di Madinah, termasuk beberapa catatan mengenai bagaimana beliau membangun praktik-praktik ritual dan meletakkan bimbingan sosial dan prinsip-prinsip hukum untuk komunitas baru tersebut.

Akan tetapi yang terpenting adalah bahwa narasi tradisional menjelaskan aktivitas politik Nabi Muhammad di Madinah, yang pada akhir hidup beliau menciptakan komunitas politik otonom yang dapat kita pandang sebagai embrio negara.

Analisis Fred McGraw Donner cukup menarik untuk menyingkap misi ciamik pendirian sebuah negara Islam yang digagas oleh Rasulullah. Akan tetapi, dia hendaknya melihat juga pondasi cinta yang membangun megahnya sebuah negara tauhid. Karena hijrah sesungguhnya adalah rangkaian kisah cinta nan suci.

Imam As-Suyuthi dalam buku Asbabun Nuzul Sebab-sebab Turunnya Ayat Al-Qur'an (2014: 532-533) menguraikan:

Abu Hurairah mengatakan, seorang laki-laki mendatangi Rasulullah kemudian berkata, “Wahai Rasulullah, kami tertimpa kesusahan.”

Rasulullah kemudian menuju istri-istrinya tetapi di sana beliau tidak menjumpai sesuatu. Beliau lalu berkata, “Hendaknya seorang laki-laki menjamu orang ini pada malam ini. Semoga Allah merahmatinya.”

Berdirilah salah seorang laki-laki dari sahabat Anshar kemudian berkata, “Aku, wahai Rasulullah.”

Laki-laki Anshar itu kemudian pergi menemui istrinya kemudian berkata, “Ada tamu Rasulullah. Janganlah kamu menyimpan sesuatu untuknya.”

Istrinya berkata, “Demi Allah, aku tidak punya apa-apa selain makanan untuk anak-anak kita.”

Laki-laki Anshar itu berkata, “Ketika anak-anak ingin makan malam, maka tidurkanlah mereka kemudian kamu ke sini dan matikan lampu. Kita lipat perut kita malam ini.”

Istrinya kemudian melakukan apa yang diperintahkan suaminya itu. Keesokan harinya laki-laki Anshar itu menemui Rasulullah. Beliau berkata, “Sungguh Allah takjub atau Allah tersenyum dari perbuatan si fulan dan si fulanah.”

Musaddad dalam kitab Musnad-nya dan Ibnu Al-Mundzir meriwayatkan dari Abu Al-Mutawakkil An-Naji bahwasanya ada seorang laki-laki muslim yang menuturkan hal serupa. Di dalam riwayat itu disebutkan bahwa yang menjamu tamu itu adalah Tsabit bin Qais bin Syammas.        

Cuplikan kisah di atas baru sekelumit bukti cinta yang dipersembahkan oleh kaum Anshar di Madinah dalam menyambut saudaranya seiman kaum Muhajirin dari Mekah. Betapa seorang ibu merelakan anak-anaknya tidur menahan lapar demi tamu Allah yang berjuang dalam hijrah. Betapa seorang istri mematuhi perintah suaminya mematikan lampu, agar mereka bisa berakting pura-pura makan agar sahabat Muhajirin menyangka mereka sedang makan malam bersama.

Imam As-Suyuthi (2014: 532) mengisahkan juga:

Ibnu Al-Mundzir meriwayatkan dari Zaid bin Al-Asham bahwasanya orang-orang Anshar berkata, “Wahai Rasulullah, kami membagi antara kami dan saudara kami orang-orang Muhajirin tanah ini menjadi dua bagian.”

Rasulullah berkata, “Tidak, akan tetapi kalian penuhi kebutuhan mereka dan kalian bagi hasil (bumi) kepada mereka. Sedangkan tanah itu tetap tanah kalian.”

Orang-orang Anshar menjawab, “Kami rida.”

Betapa indahnya cinta yang dibingkai mereka, ketika kaum Anshar menyerahkan tanah milik mereka setelah menyadari betapa untuk hijrah kaum Muhajirin meninggalkan harta bendanya di Mekah. Kaum Anshar tidak mau saudara seiman justru mengalami kemalangan dan merelakan aset berharga demi perjuangan hidup mereka.

Intinya adalah, betapa Rasulullah berhasil mengenalkan suatu ikatan baru yang tidak dikenal sebelumnya. Di masa lalu bangsa-bangsa Arab hanya mengenal hubungan sedarah atau ta’asub (fanatisme) kesukuan yang menimbulkan permusuhan. Kemudian Nabi Muhammad datang membawa ikatan keimanan, yang justru menghasilkan episode cinta kasih.  

Kisah-kisah cinta suci itulah yang menjadi latar historis atau asbabun nuzul dari turunnya surah al-Hasyr ayat 9, yang artinya:




Belum Ada Perang Seunik Perang Ahzab

Sebelumnya

Mukjizat Nabi pada Periuk Istri Jabir

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Sirah Nabawiyah