Ilustrasi/ Net
Ilustrasi/ Net
KOMENTAR

Muhammad Thaha Abul Ela Khalifah dalam buku Hukum Waris (2007: 9) menguraikan:
Jika definisi waris adalah berpindahnya harta dari si mayit kepada yang hidup (ahli waris) dapat disimpulkan bahwa dalam urusan warisan harus ada tiga hal, yaitu orang yang meninggal (pewaris), ahli waris dan harta yang diwariskan. Jadi syarat-syarat waris adalah pewaris (yang wafat), ahli waris (yang hidup), dan tidak ada penghalang dalam mendapatkan warisan.  

Dari defenisi harta warisan di atas dapatlah dirumuskan jawaban dari hukum boleh tidaknya membagi warisan saat masih hidup. Karena warisan itu adalah harta milik si mayit setelah dirinya wafat, dengan demikian, apabila pemiliknya masih dalam keadaan hidup, maka harta bendanya tidaklah disebut sebagai warisan.

Namun, masih ada opsi pemberian lainnya dalam hukum Islam, yaitu harta hibah. Sayyid Sabiq dalam buku Fikih Sunnah Jilid 5 (2009: 547) menguraikan:

Istilah hibah digunakan dan dimaksudkan sebagai pemberian sukarela dan santunan kepada orang lain, baik itu dengan harta maupun yang lainnya. Menurut istilah syariat, hibah adalah akad yang substansinya adalah tindakan seseorang untuk mengalihkan kepemilikan hartanya kepada orang lain pada saat hidup tanpa imbalan.

Harta hibah ini dapat diserahkan bahkan ketika kita masih hidup sekalipun. Misalnya, dalam kasus pembuka diterangkan kekhawatiran dengan nasib si Putri yang merupakan anak angkat, yang tidak punya hak warisan. Dari pada hidupnya nanti merana, maka kepada Putri bisa saja diserahkan harta dalam bentuk hibah.

Fikih Islam pun membuka opsi lainnya, yakni wasiat. Maksudnya, sebelum meninggal dunia dia telah menyatakan penyerahan sebagian harta, tetapi harta tersebut baru dapat diambil alih kepemilikannya setelah sang pemberi wasiat meninggal dunia.

Dengan cara ini si Putri pun dapat memperoleh bagian harta dan tidak perlu dilakuan pembagian harta warisan saat masih hidup.

Namun, wasiat ini pun ada aturannya tidak boleh keseluruhan harta kekayaan diwasiatkan. Dalam hadis Nabi disebutkan wasiat tidak boleh melebihi maksimal sepertiga harta, sebab di dalam harta kekayaan itu juga ada hak-hak ahli waris.

Bagaimana bila dikhawatirkan akan terjadi percekcokan di antara para ahli waris sepeninggal dirinya yang telah wafat?

Ya, solusinya jelas bukan dengan membagi harta warisan ketika masih hidup dong! Karena, persoalannya adalah perkara kesadaran dan pengetahuan ahli waris terkait hukum faraidh (warisan).

Selagi masih hidup maka dikumpulkan saja seluruh ahli waris, lalu undang pakar agama atau ulama dalam memberikan penjelasan tentang pembagian masing-masing sesuai ilmu faraidh.

Intinya, mereka tidak perlu memperebutkan atau malah bertikai, sebab semua pembagian sudah jelas dalam hukum Islam. Pertikaian macam apapun tidak akan bisa merubah apa yang telah ditetapkan Islam, apalagi pembagian warisan telah diterangkan dengan terperinci dalam kitab suci.

Bagaimana kalau masih saja cemas dengan percekcokan di kemudian hari, arwahnya ayahanda tidak tenang dong?

Jangan khawatir, pertikaian itu masih dapat diredam kok! Agar tidak muncul aksi rebut-rebutan, bisa diundang ulama yang benar-benar memahami ilmu faraidh guna langsung turun tangan membagi warisan sesuai dengan hukum fikih Islam.

Ada yang lebih keren! Para ahli waris dapat meminta bantuan pengadilan agama untuk membagi hak-hak mereka sesuai ketentuan Islam.
    
    
 




Inilah Puasa yang Pahalanya Setara Berpuasa Setahun

Sebelumnya

Saat Itikaf Dilarang Bercampur Suami Istri, Maksudnya Apa?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Fikih