Ilustrasi/ Net
Ilustrasi/ Net
KOMENTAR

RAUT kecemasan terus menggelayuti lelaki tambun yang kini tergolek di ranjang.

Bukan parahnya penyakit yang membuatnya galau, tapi dia risau memikirkan bagaimana nasib anak-anaknya di masa mendatang, sepeninggal dirinya setelah tiada.

Tiga orang anak laki-lakinya yang biasa dimanja, malah menunjukkan perangai yang mengkhawatirkan. Entah apa yang akan terjadi dengan mereka sekiranya ajal sang ayahanda benar-benar tiba.

Dirinya yang berharta lumayan malah dilanda kecemasan. Sempat terpikir oleh lelaki itu, barangkali enak jadi orang miskin, tidak ada harta yang akan dipertikaikan oleh anak keturunan.

Istrinya mengusulkan, “Baiknya dari sekarang saja harta warisan dibagi-bagikan.”Bukannya berharap dengan kematian suami, usulan wanita itu tidak terlepas dari upaya menjaga keutuhan keluarga. Jangan sampai percekcokan terjadi hanya disebabkan rebutan harta.

Lagi pula sang istri mengingatkan, “Ini juga lebih adil bagi nasib si Putri.”

Si bungsu itulah yang satu-satunya menunjukkan bakti kepada orangtua. Malangnya, si Putri hanyalah anak angkat, yang tidak tertera dalam hukum warisan Islam. Atas berbagai pertimbangan, sang istri menawarkan pembagian harta warisan dipercepat sebelum kedahuluan ajal.

Istrinya berurai airmata, yang membuat lelaki itu makin luluh.

Pertanyaan krusialnya adalah, apakah harta warisan boleh dibagi-bagikan ketika masih hidup?

Sebelum menelusuri jawabannya, yang terlebih dahulu penting dipahami adalah agar kita tidak kalah oleh perasaan sendiri. Lagi pula perasaan itu sesuatu yang lemah, yang mudah terombang-ambing lalu menghempaskan kita ke karang nan terjal.

Rujukan kaum muslimin ialah hukum-hukum agama, bukannya gelombang perasaan yang tengah bergelora di dada. Tidaklah patut hukum agama digonta-ganti hanya demi memuaskan perasaan.

Negara Republik Indonesia ini mengenal Kompilasi Hukum Islam, yang sebetulnya sudah memudahkan bagi para pemeluk Islam menemukan titik terang di berbagai persoalan hukum.

R. Saija dan Iqbal Taufik dalam bukunya Dinamika Hukum Islam Indonesia (2016: 58) mengungkapkan:
    Kewajiban ahli waris terhadap pewaris diatur dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 175 yang berbunyi:
a. Mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman jenazah selesai;
b. Menyelesaikan baik utang-utang berupa pengobatan, perawatan termasuk kewajiban pewaris maupun menagih piutang;
c. menyelesaikan wasiat pewaris;
d. membagi harta warisan di antara ahli waris yang berhak.

Tatkala seseorang telah meninggal dunia lenyaplah segala dayanya, jangankan mengurus diri sendiri, membuka kelopak mata saja sudah tidak kuasa. Dari itulah para ahli waris diperlukan untuk turun tangan membereskan segala urusannya.

Surat an-Nisa ayat 12, yang artinya, “Setelah (dipenuhi wasiat) yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) utangnya dengan tidak menyusahkan (ahli waris). Demikianlah ketentuan Allah. Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.”

Terkait dengan tema pembahasan, maka yang berikut ini beberapa hal yang patut dipertimbangkan:
Pertama, dari hartanya dikeluarkan dulu biaya bagi penyelenggaraan jenazah hingga pemakamannya.

Jangan sampai mayat terbujur lama dikarenakan ketiadaan biaya. Dan akan semakin memilukan apabila mayat terlantar ketika harta bendanya sudah ludes dibagi-bagikan.

Hak si mayat inilah yang paling tidak boleh diabaikan. Dari itulah tidak patut ahli waris membagi-bagikan hak milik seseorang yang masih hidup, sementara ketika dirinya wafat malah terlantar jenazahnya.

Kedua, dikeluarkan pula dari harta bendanya guna melunasi utang-utang almarhum atau almarhumah. Betapa malangnya orang yang telah meninggal itu masih memikul beban utang-utang sedangkan harta bendanya sudah ludes oleh para ahli waris.

Muhammad Fuad Abdul Baqi pada kitab Shahih Bukhari Muslim (2017: 596) menerangkan:
Abu Hurairah berkata, pernah didatangkan kepada Rasulullah saw. orang mati yang meninggalkan utang. Maka Nabi saw. bertanya, “Apakah dia meninggalkan harta untuk membayar utangnya?”
Jika dijawab, “Ya, meninggalkan harta untuk membayar utangnya.” Maka Nabi saw. menshalatkanya. Jika tidak, maka Nabi saw. berkata kepada sahabatnya, “Shalatkanlah saudaramu itu!” (HR. Bukhari)    

Demikianlah adanya, apabila ada jenazah terbujur ditanyakan dulu utangnya, untuk segera dilunasi dengan hartanya. Ahli waris perlu sekali menyelesaikan perkara utang ini terlebih dahulu terkait harta milik pewaris.

Ketiga, menunaikan wasiat dari orang yang meninggal dunia, karena itu adalah janji dirinya semasa hidup yang mesti ditunaikan oleh para ahli warisnya. Terkait wasiat itu pun ada aturannya, karena tidak boleh menzalimi hak ahli waris lainnya.

Abdul Manan dalam buku Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia (2017: 170) menerangkan:
Wasiat hanya berlaku dalam batas sepertiga dari harta warisan jika terdapat semua ahli waris yang berhak mewarisi. Jika melebih sepertiga harta warisan, para ahli hukum Islam di semua mazhab sepakat bahwa hal itu harus ada izin dari para ahli waris.

Kempat, dalam fikih Islam ketentuannya harta warisan adalah harta benda peninggalan dari orang yang sudah meninggal dunia.




Inilah Puasa yang Pahalanya Setara Berpuasa Setahun

Sebelumnya

Saat Itikaf Dilarang Bercampur Suami Istri, Maksudnya Apa?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Fikih