Ilustrasi/ Net
Ilustrasi/ Net
KOMENTAR

LANGKAH gadis itu tersendat di depan sebuah restoran. Bukannya tidak punya duit mencukupi, melainan dia menyadari apapun yang disantap perlu dipastikan kehalalannya. Matanya sudah lelah mencari-cari, tetapi tidak kunjung terlihat logo halal di tempat makan yang lagi viral itu.

Sahabatnya yang sudah demikian berhasrat ditraktir makanan asal mancanegara berupaya mendorongnya. Gadis itu menepis, “Tidak ada logo halalnya!”

Telunjuk sahabatnya mengarah kepada sebuah tulisan besar yang terpampang; No Pork No Lard.

Tidak mau kehilangan momentum ditraktir, sahabatnya meyakinkan, “Tidak ada babi atau pun lemaknya, halal dong!”

Namun, rasa ragu membuncah di lubuk hatinya. Berhubung telah ragu, gadis itu pun memilih pergi menjauh, disusul sahabatnya yang memasang muka masam.

Indonesia ini negara yang sangat terbuka, sehingga berbagai menu asal negara-negara lain diperbolehkan hadir, bahkan kemudian menjadi santapan kegemaran rakyat Nusantara. Hanya saja, kita hanya meminta keseriusan dalam mengurus sertifikasi halal. Itu saja!

Akal-akalan manusia memang banyak ragamnya, yang amat disayangkan jika sampai membuat kaum muslimin tersesat dalam pemahaman yang keliru.

Pork adalah babi. Lard adalah lemak babi. Akan tetapi, label No Pork No Lard jelas bukanlah jaminan halal. Mengapa?

LPPOM MUI (Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia) membuat penjelasan yang terang benderang pada laman halalmui.org:

"No Pork No Lard” berarti restoran tidak menyajikan daging mapun lemak babi. Umumnya, daging yang disajikan adalah seafood, sapi, ayam, maupun olahannya.

Seafood (ikan, udah, cumi, kerang, dan sebagainya) termasuk dalam daftar bahan tidak kritis (positive list). Artinya, sudah dapat dipastikan halal tanpa perlu melalui serangkaian proses pemeriksaan halal.

Hal ini akan berbeda jika seafood telah mengalami proses pengolahan, seperti dibuat bakso, crab stick, fish cake, dan seterusnya.

Bahan halal yang mengalami proses pengolahan pasti telah dicampurkan dengan bahan tambahan dan bahan penolong lainnya. Bahan inilah yang perlu ditelusuri kehalalannya.

Sementara daging sapi dan ayam, selain produk olahan seperti seafood, titik kritisnya ada pada proses penyembelihan. Hewan harus dapat dipastikan disembelih sesuai syariat Islam. Selain itu, proses penyimpanan dan distribusi daging harus terpisah dari bahan yang diharamkan.

Masakan Jepang banyak menggunakan daging. Ini yang kritis. Umumnya di Indonesia menggunakan daging ayam dan sapi. Tapi kalau di negara asalnya, ada peluang ketiga, yaitu daging babi. Kita harus tahu cara penyembelihan daging ayam dan sapi ini sesuai syariah Islam atau tidak.

Bagaimana dengan bumbunya?

Karena mengadopsi menu masakan dari luar negeri, maka besar kemungkinan menggunakan resep, termasuk bumbu, dari negara asal. Inilah titik kritis yang sering kali tidak disadari oleh konsumen.

Seperti diketahui, cita rasa masakan Jepang identik dengan penggunaan sake dan mirin. Keduanya termasuk dalam golongan khamr. Selain karena mengandung alkohol yang tinggi, tujuan diproduksinya sake dan mirin adalah untuk minuman beralkohol. Karena itu, dalam masakan meskipun penggunaanya hanya sedikit, satu tetes sekalipun, maka tetap saja tidak halal. Karena khamr itu haram dan najis.

Label No Pork No Lard itu terkesan tidak bersalah, toh yang pihak restoran sebutkan juga ada benarnya; mereka tidak menggunakan bahan babi dan lemaknya. Hanya saja, pemahaman konsumen dapat saja melenceng dari apa yang sekadar tertulis tersebut.

Alam pemikiran khalayak terlanjur membayangkan keharaman itu berhubungan dengan daging atau lemak babi. Padahal, yang bahan-bahan haram itu beragam sekali macam-macamnya.

Konsumen muslim hendaknya menjadi tuan di negerinya sendiri. Pilihan tegas hanya menyantap makanan minuman halal akan menjadi pelajaran berharga bagi para pelaku usaha agar menaati aturan agama Islam.

Bayangkan, di negara-negara yang muslimnya minoritas saja malah mudah ditemukan produk-produk berlogo halal yang sertifikasinya diterbitkan oleh lembaga muslim setempat yang diakui.

Sehingga menjadi sesuatu yang membingungkan kalau masih saja berbagai restoran enggan meraih hati konsumen muslim Indonesia dengan mengurus sertifikasi halal. Dan makin membingungkan kalau ujung-ujungnya malah berkreasi dengan label No Pork No Lard. Waspadalah!




Ternyata Siomay Bisa Saja Haram

Sebelumnya

Parsel: Halal atau Haram?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Halal Haram