Ilustrasi/ Net
Ilustrasi/ Net
KOMENTAR

BETAPA agama Islam sedemikian memuliakan perempuan yang sedang haid dan nifas.

Memang ada sejumlah larangan bagi perempuan yang haid atau nifas yang diatur fikih Islam, akan tetapi larangan itu tidak bermaksud memasung apalagi mendiskriminasi.

Ada nilai-nilai kebajikan yang tersimpan dalam larangan yang dirangkai teramat indah tersebut.

Abu Malik Kamal ibn Sayyid Salim dalam bukunya Fikih Sunnah Wanita (2017: 73-78) menerangkan, hal-hal yang diharamkan bagi wanita yang tengah mengalami haid dan nifas:

1. Shalat
Para ulama telah berijma’ bahwa diharamkan bagi wanita yang tengah haid dan nifas untuk melakukan shalat; baik yang fardhu maupun yang sunah. Dan mereka juga berijma’ bahwa kewajiban shalat gugur baginya, sehingga ia tidak perlu menggantinya pada saat ia telah suci.

Dari Mu’adzah, bahwa seorang wanita pernah bertanya kepada Aisyah, “Apakah salah seorang dari kita harus mengganti shalatnya jika ia telah suci?”

Maka Aisyah bertanya, “Apakah engkau dari golongan Haruriyah? Kami juga mengalami haid pada masa Nabi saw., dan beliau tidak memerintahkan kami untuk melakukannya, atau Aisyah berkata, “Dan kami tidak melakukannya (mengqadhanya).”

2. Puasa
Telah disepakati bahwasanya wanita yang mengalami haid dan nifas tidak boleh berpuasa, namun ia harus mengganti puasa Ramadhan yang ia tinggalkan.  

Aisyah pernah berkata, “Kami juga mengalami hal itu (haid), dan kami diperintahkan untuk mengqadha atau mengganti puasa, dan kami tidak diperintahkan untuk mengqadha shalat.”

3. Berhubungan intim
Para imam telah berijma' bahwa tidak dibolehkan untuk menggauli seorang wanita yang sedang haid, sebagaimana Allah telah mengharamkan itu di dalam firmannya, yang artinya, “Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid." (Qs. al-Baqarah ayat 222).
 

4. Tawaf
Dan ini haram bagi wanita yang sedang haid dan nifas dengan ijma' ulama. Sebagaimana hadis dari Aisyah bahwasanya ketika ia mendapatkan haid saat haji, Nabi saw. berkata kepadanya, “Lakukanlah semua yang dilakukan oleh orang yang melaksanakan haji, kecuali melakukan tawaf di Ka’bah sampai kamu suci.”

5. Perceraian
Sayyid Sabiq dalam bukunya Fiqih Sunnah 3 (2017: 562-563) menerangkan, jika seorang perempuan ditalak dalam keadaan haid, pada saat itu dia tidak dalam keadaan bisa menerima iddah sehingga berakibat pada lamanya iddah yang akan dijalani.

Nafi’ bin Abdullah bin Umar menceritakan bahwa pada masa Rasulullah saw., dia pernah menjatuhkan talak kepada istrinya yang sedang haid. Lalu Umar bertanya kepada Rasulullah tentang perkara tadi.

Rasulullah pun bersabda, “Perintahkanlah ia untuk merujuk istrinya, lalu tahanlah istrinya sampai ia suci dari haidnya, kemudian haid (lagi). setelah itu, ia suci dari haidnya. Setelah itu, ia suci dari haidnya. Kemudian jika ia mau menahan istrinya (maka tahanlah), dan jika ia mau untuk menjatuhkan talaknya sebelum menyetubuhinya (maka talaklah). Itulah iddah yang diperintahkan Allah Swt., kepada (para suami) untuk menjatuhkan talak kepada istrinya.”

Demikianlah hal-hal yang disepakati oleh ijma’ ulama terkait dengan yang terlarang bagi perempuan yang sedang haid ataupun nifas. Dari rangkaian larangan itu tidak ada indikasi diskriminasi sedikitpun, melainkan tidak lain tidak bukan upaya memuliakan kedudukan perempuan selama menjalani masa-masa haid atau nifasnya.

Dalam rangkaian ibadah haji pun, demi kenyamanan maka tawaf menjadi terlarang bagi perempuan yang datang bulan. Perempuan haid diberi keringanan oleh agama, dengan tidak perlu mengganti shalatnya. Adapun ibadah puasa dapat ditunaikan lagi dengan mengganti di hari-hari lain di masa suci.

Sedangkan larangan berhubungan intim jelas sekali tujuan luhurnya, dimana istri dapat digauli dengan aman dan nyaman di masa-masa sucinya. Dengan demikian hubungan seksual yang memang sudah halal dengan pernikahan itu tetap berlangsung dalam koridor yang diredai Ilahi.

Larangan menceraikan istri ketika lagi haid merupakan bentuk perlindungan terhadap hak-hak perempuan. Karena itu hanya membuat masa iddahnya menjadi teramat lama, dan Islam tidak mau nasib seorang wanita bagaikan seperti digantung tanpa tali.  

Dari uraian tentang larangan bagi perempuan haid atau nifas, dapat kita pahami yang terlarang itu umumnya berhubungan dengan ibadah, yang tentunya menuntut syarat kesucian. Oleh sebab itu, maka kita hendaknya meresapi tujuan luhur yang dikandungnya.

Ibnu Abdullah dalam bukunya Fiqih Thaharah Panduan Praktis Bersuci (2018: 116) menerangkan, semua ibadah dalam bentuk ritual selalu menempatkan unsur thaharah sebagai syarat mutlaknya.

Dengan demikian sebelum seseorang melaksanakan ibadah ia harus suci terlebih dahulu. Suci dalam hal ini meliputi dua tuntutan, yakni suci dari najis dan suci dari hadas. Suci dari hadas meliputi dua hal, yakni hadas kecil dan hadas besar.

Sebagai sebuah persyaratan, kesucian harus diupayakan seseorang sebelum melaksanakan ibadah.

Jika hal ini tidak diupayakan, maka konsekuensinya ibadah  akan tertolak. Allah tidak menerima sebuah ibadah yang tidak dibangun di atas kesucian. Kondisi haid menyebabkan seorang wanita harus menanggung hadas besar. Dan atas dasar inilah mereka bukan saja tidak boleh untuk melakukan ibadah namun malah dilarang untuk melakukan ibadah.

Bukan saja bertujuan memuliakan, larangan terkait haid dan nifas dibuat oleh agama Islam juga dalam rangka membela hak-hak perempuan. Sehingga muslimah hendaknya memahami larangan-larangan tersebut dalam koridor husnuzan.




Inilah Puasa yang Pahalanya Setara Berpuasa Setahun

Sebelumnya

Saat Itikaf Dilarang Bercampur Suami Istri, Maksudnya Apa?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Fikih