Ilustrasi/ Net
Ilustrasi/ Net
KOMENTAR

ANAK remaja kerap kali berperilaku konsumtif. Terkadang perilaku tersebut bukan atas kemauannya, namun karena dorongan dari teman-temannya. Sebab jika tidak mengikuti, maka ia dianggap tidak gaul dan tidak modis.

Jika sudah demikian, anak biasanya akan tertekan. Dalam istilah psikologi dikenal dengan "Peer Pressure". Yaitu suatu istilah yang menggambarkan seorang remaja yang terpaksa mengikuti keinginan teman-temannya agar diterima dan dihargai.

Memang tidak semua peer pressure itu menghasilkan hal yang negatif. Namun, ada dampak psikologis dari anak remaja kita jika mereka menerima tekanan itu.

1. Anak remaja akan membeli barang atau pakaian yang mirip dengan teman-temannya.

2. Mereka juga akan mendengarkan musik serta menonton acara TV yang sama.

3. Gaya bicaranya dan kata-kata yang diucapkannya pun bergaya sama denga "geng"-nya.

4. Terkadang, mereka akan melakukan hal-hal yang berisiko tinggi dan melanggar aturan.

5. Jika peer pressure tersebut positif, anak akan semakin rajin belajar di sekolah. Tapi jika tidak, justru sebaliknya.

6. Mengikuti gaya berpacaran atau mengambil bagian dalam aktivitas seksual.

7. Merokok, minum-minuman beralkohol, atau bahkan terjerumus dalam penggunaan obat-obatan terlarang.

Beberapa orangtua yang terlalu sibuk dengan urusannya mungkin saja tidak terlalu memerhatikan hal ini. Namun sayangnya, hal tersebut justru akan memiliki efek jangka panjang bagi si remaja.

Salah satunya adalah gangguan kesehatan mental, seperti kecemasan sosial ketika mereka mencoba untuk menghindari penilaian negatif dari orang lain (terutama teman-temannya).

Menjadi Lebih Konsumtif

Bisa diperhatikan, remaja yang "tertekan" biasanya menjadi lebih konsumtif karena mereka "terpaksa" mengikuti gaya rekan-rekannya. Mulai dari tas, baju, sepatu, harus pada merek tertentu. Atau mungkin skin care yang memang sedang hits di kalangan remaja.

"Remaja ingin mengidentifikasi diri dengan kelompok sebaya mereka dan dalam arti tertentu itu adalah titik lemah," begitu ujar psikolog anak Allen Kenner, PhD dalam bukunya "Psychology and Consumer Culture: The Struggle for a Good Life in a Materialistic World".

James McNeal, PhD dalam bukunya "Kids as Customers: A Handbook of Marketing to Children" mengatakan, saat anak-anak mencapai usia remaja, ini adalah tahap perkembangan ketika mereka secara alami merasa insecure dan mencari identitas diri.

Kondisi ini dimanfaatkan oleh perusahaan-perusahaan untuk membuat remaja menjadi "keren" dan memanipulasi keinginan tersebut dengan menjual aneka produk kebutuhan remaja.

Kondisi ini biasanya menimpa pada remaja usia 12 hingga 14. Mereka tertarik pada nilai gengsi yang diyakini bisa diberikan oleh pakaian bermerek. Inilah masa di mana peer presure dan penyesuaian diri sangat penting.

Media Sosial Memperburuk Tekanan

Di zaman serba teknologi seperti sekarang, peer pressure tidak lagi berasal dari ruang kelas atau sekolah. Media sosial mengambil alih tekanan lebih besar lagi.

Media sosial telah mengakibatkan banyak remaja merasa lebih tertekan dari teman sebayanya. Mereka takut ketinggalan (FOMO) dan merasa insecure secara sosial.

Apalagi ketika seorang influencer memposting review suatu brand di TikTok, misalnya. Kemudian dengan cepat video tersebut menjadi viral. Sudah pasti remaja yang terjebak dalam peer pressure ini menjadi takut ketinggalan.

Di Manakah Peran Orangtua?

Saat-saat anak beranjak remaja, sebaiknya orangtua mulai kritis dan sensitif melihat perubahan perilaku anak. Orangtua juga sebenarnya dituntut aktif untuk mengetahui setiap permasalahan anak.




Viral Pendidikan Karakter Anak ala Kang Dedi Mulyadi: Ketika Disiplin Diajarkan dengan Cara Tak Biasa

Sebelumnya

Peran Bijak Kakek dan Nenek dalam Pengasuhan Cucu, Kapan Boleh Mengintervensi?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Parenting