Ilustrasi/ Net
Ilustrasi/ Net
KOMENTAR

“APAKAH Anda sudah memberitahukan keluarga, kalau pekerjaan ini risikonya bisa kematian?”

Pertanyaan tajam itu terlontar kepadanya di suatu pertemuan, di hadapan khalayak ramai pula. Lelaki itu sejenak terdiam. Biasanya dirinya yang menginterogasi, kini malah giliran dirinya yang seperti diinterogasi. Mungkin juga dia terdiam karena tidak akan pernah mudah menjawab tentang kematian.

Kemudian lelaki itu tersenyum dan menjawab, “Ya, sudah.”

“Termasuk kepada anak-anak?”
 

Pertanyaan yang makin tajam penuh selidik itu pun dijawabnya tegas, “Iya, juga anak-anak.”

Penanya masih belum puas mencecar, “Bagaimana Anda memberi pemahaman tentang kematian kepada anak-anak kecil?”

Lelaki itu menerangkan, “Ya, setiap yang hidup akan mati, cepat atau lambat.”

Beberapa tahun belakangan nama lelaki itu sering viral, aksinya sebagai penegak hukum kerap mengundang decak kagum. Beberapa kali dirinya diancam, diserempet bahaya, hingga mengalami cidera. Akan tetapi, hingga tulisan ini dibuat, dirinya masih bernyawa. Barangkali ujung ajalnya bukan di saat menunaikan tugas menegakkan hukum.

Sebetulnya pemahaman terhadap kematian hendaknya menjadi materi setiap muslim. Alasannya cukup sederhana, sesuai surat Al-Anbiya’ ayat 35, yang artinya, “Setiap yang bernyawa akan merasakan mati.”
 

Hamka menerangkan pada Tafsir Al-Azhar, ayat ini mengajar orang berpikir memakai manthiq, “Kalau engkau mati hai utusan-Ku, apakah mereka akan kekal?” Di dalam ayat ini dijelaslan bahwa Nabi dan Rasul yang paling mulia mesti mati. Dahulu dari dia tidak ada seorang yang kekal. Tentu tidak mungkin akan ada orang yang kekal, tidak akan mati-mati sesudah Nabi Muhammad mati.

Para nabi yang merupakan manusia pilihan saja berakhir dengan kematian, bagaimana pula kita yang manusia biasa ini mau menolaknya? Bahkan, tidak ada satu pun makhluk hidup yang abadi.

Burung, ayam, kucing, ikan atau apapun binatang peliharaan silih berganti mati, demikian pula yang akan terjadi cepat atau lambat kepada kita dan seluruh anggota keluarga. Jangan dikira kakek nenek yang akan duluan ajalnya, banyak juga terjadi anak-anak yang terlebih dahulu menghadap Tuhannya.

Minang adalah suku yang giat mengambil pelajaran dari tanda-tanda alam. Oleh sebab itu, lahirlah pepatah orang Minang, mumbang jatuah karambia jatuah.

Febri Yulika dalam buku Epistemologi Minangkabau menerangkan, mumbang jatuah karambia jatuah, (putik kelapa jatuh kelapa jatuh). Pepatah di atas menjelaskan akan kepastian kematian bagi setiap makhluk hidup -termasuk manusia- tanpa mengenal usia, baik tua maupun muda, sebagaimana halnya buah kelapa yang sudah tua. Pepatah ini sekaligus menjelaskan kepada manusia adanya kekuatan adikodrati yang mengatur kehidupan ini.

Mumbang jatuah karambia jatuah, kelapa tua karena memang sudah umurnya akan gugur ke bumi.

Namun, mumbang atau putik kelapa yang masih kecil mungil pun juga banyak yang berguguran duluan. Begitulah dahsyatnya ajal, yang tidak satu pun manusia yang dapat menolaknya.    

Nabi Muhammad pun mengalami berbagai macam musibah kematian; kakeknya Abdul Muthalib dan pamannya Abu Thalib meninggal dunia karena faktor usia yang tua. Namun, beliau juga kehilangan semua putranya di waktu usia balita bahkan masih bayi. Dengan demikian, keluarga Nabi Muhammad pun harus menyiapkan dirinya menyambut kematian. Status nabi tidaklah berarti dapat menolak ajal.

Nah, kematian itu bermacam pula cara orang memandangnya. Ada yang melihat kematian sebagai bencana yang menyedihkan, perpisahan yang menyakitkan. Namun, ada juga yang memandang kematian sebagai kebahagiaan, karena hanya dengan kematian manusia akan masuk surga, dan berjumpa dengan Tuhannya.

Ketika pandemi Covid-19 lagi marak-maraknya, kita seringkali mendengar berita kematian; entah itu orang sekampung, kerabat, tetangga, sanak saudara, bapak, ibu atau anak sendiri. Di sini terlihat, betapa kematian itu amatlah dekat.

Apabila kita tidak memiliki bekal pengetahuan tentang kematian, maka ketidaksiapan itu akan melahirkan reaksi-reaksi ekstrim; orang-orang Jahiliyah dahulu sampai mencabuti rambut, menggoyak pakaian, menaburi kepala dengan tanah, memaki, mengutuki dan sebagainya.

Amat disayangkan kalau cara-cara Jahiliyah yang dilarang Islam itu masih ada ditemukan di era modern ini. Islam membolehkan duka cita, bahkan diperbolehkan pula meneteskan airmata, tetapi tidak boleh larut dalam kesedihan yang ekstrim.

Mungkin manusia modern tidak lagi mencabik-abik bajunya tatkala mendapatkan kabar kematian. Akan tetapi, di antaranya ada yang mencabik-cabik hatinya sendiri, depresi atau stres, tidak mau lagi makan minum. Lalu akhirnya dia pun meninggal dunia dalam keadaan merana.

Kehidupan itu terus berjalan, meski pun kita menjumpai kematian yang silih berganti. Namun, yang masih hidup tidak boleh menjadi vampire, jasadnya bergerak tetapi jiwanya mati. Move on!

Dari itu pula kita perlu membawa diri dan keluarga bertakziah jika ada yang meninggal dunia, atau melakukan ziarah kubur. Sehingga kita pun dapat meresapi ungkapan, “Cukuplah kematian itu sebagai nasihat bagimu.”
 
 
    




Bukankah Aku Ini Tuhanmu?

Sebelumnya

Ya Allah, Aku Belum Pernah Kecewa dalam Berdoa

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Tadabbur