Host Channel YouTube Realita TV, Rahma Sarita dan anaknya berfoto bersama para tenaga kesehatan/Net
Host Channel YouTube Realita TV, Rahma Sarita dan anaknya berfoto bersama para tenaga kesehatan/Net
KOMENTAR

INI kisah presenter Rahma Sarita, host Channel YouTube Realita TV.

Tiga pekan bergulat dengan virus Corona, nama populer Covid-19, yang menulari seluruh keluarganya. Kisahnya dramatis karena momen kejadian pas ketika pemerintah memberlakukan Penetapan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM Darurat) di seluruh wilayah tanah air, 3 hingga 20 Juli, akibat ledakan kasus Covid19.

Tidak hanya dalam jumlah, tetapi terutama karena keganasan virus Delta varian baru Covid-19, secepat kilat menciptakan klaster keluarga. Satu yang tersambar, seisi rumah atau sekeluarga terpapar.

Horor di RS

Kondisi terparah dialami DKI Jakarta. Pertama kali Rahma merasakan gejala terpapar Covid19 pada hari Senin, tanggal 5 Juli. Update data kasus positif hari itu saja di Jakarta 12.295 kasus positif. Sedangkan yang meninggal dunia berjumlah 658 jiwa.

Di mana-mana rumah sakit penuh. Pemandangan horor di lapangan parkir hingga ruang IGD RS kita saksikan juga di layar televisi. Sirene ambulans meraung-raung keluar masuk RS menjemput pasien wafat. Jenazah dalam  peti mati yang dibungkus plastik juga antre, menunggu ambulans. Lahan pemakaman terus ditambah dan diperluas.

"Saya menyaksikan semua itu. Saya menunggu di ruang IGD sejak pukul 11 siang, dan pukul 7 malam jam baru bisa konsultasi dokter," kisah Rahma, mantan wartawati Metro TV, TV One, dan Jak TV.

Rahma merasakan gejala awal batuk pilek. Tapi, esok hari kondisi membaik. Dia pun beraktivitas seperti biasa. Dia ke pasar tradisional. Namun, Rabu  7 Juli, gejala itu kembali menekan.

Rahma baru ngeh ketika membersihkan kotoran kucing di toilet pasir. Dia tidak mencium bau apa-apa. Ia coba mencium minyak kayu putih. Sama. Tak ada bau. Tes dengan parfum, penciumannya juga error.

"Saya memutuskan sendiri, ini Covid-19," kisahnya.

Dia putuskan hari itu harus ke dokter. Nah! Di sinilah soalnya. Mau konsultasi dengan dokter RS di RS tidak mudah. Petugas RS yang dia dihubungi per telepon memberi dia jadwal kontrol hari Senin depan. Rahma bertambah stress.

Ia memutuskan “go show” saja ke RS terdekat jaraknya dari apartemennya. Kondisi RS yang hari itu chaos membuatnya menerima kenyataan harus menunggu di IGD delapan jam baru bisa bertemu dokter.

Mengungsikan Diri

Hasil pemeriksaan darah dan rontgen paru menunjukkan gejala positifnya makin kuat.  D Dimmer 550 (normal 500). D Dimmer adalah tingkat kekentalan darah dalam tubuh. CRp 20 ( normal 5). CRP mengukur peradangan dalam tubuh.

Hasil Swab PCR  keesokan harinya pun memastikan positif. Untungnya, Rahma tidak merasakan gejala terlalu berat. Tidak sampai membuatnya terkapar di tempat tidur. Sehingga dia masih bisa merencanakan langkah antisipasi. Semalaman ia tidak bisa tidur, tapi ia masih kuat berkemas pindah  ke rumahnya di daerah Kebagusan untuk mengisolasikan diri.

Semalam sebelumnya dia sudah mengurung diri dalam kamar sendiri. Pagi- pagi sekali dia tinggalkan apartemennya. Kepada suami dia berpesan agar suami bersama tiga anak, dan pembantu hari itu juga swab PCR.

Teror di Pengungsian

Selama di pengungsian dia terus mengalami teror Covid-19.

"Covid-19 itu, king of surprise. Tiap hari bikin kejutan," ceritanya.

Dua hari setelah mengungsi, hasil tes suaminya positif. Sang suami pun bergabung di tempat pengungsian. Yang tinggal di apartemennya, tiga anak dan satu pembantu. Hari - hari selanjutnya, pembantu menyusul bergabung karena postif juga. Setelah itu ketiga anaknya, yang semula hasil PCR-nya negatif berubah positif pada waktu tes ulang. 

Rahma menceritakan runut drama itu minggu lalu di Channel YouTube Realita TV.

"Alhamdulillah, sudah sembuh semua. Kami semua hanya mengalami satu hari gejala sedang," ceritanya. 

Wartawan TV

Sebelum memiliki channel TV sendiri di YouTube, Rahma pernah bekerja sebagai wartawan di Metro TV, TV One, dan JakTV. Karirnya diawali di TVRI Surabaya sebagai reporter olahraga kemudian pindah ke TVRI Pusat di Jakarta bersama Sandina Malakiano.

Satu Anak Diopname

Hanya satu anak berusia 7 tahun yang sempat dirawat beberapa hari di RS. Dia mengalami diare dua hari. Sempat kritis karena ada komorbid obesitas alias overweight. Beratnya 46 kg.




Bintang Puspayoga: Angka Perkawinan Anak Menurun dalam Tiga Tahun Terakhir

Sebelumnya

Lebih dari 200 Rumah Rusak, Pemerintah Kabupaten Garut Tetapkan Status Tanggap Darurat Bencana Gempa Bumi Selama 14 Hari

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel News